Tuesday, November 28, 2006

Ada Apa Dibalik Kunjungan SBY ke Tokyo?

Ada Apa Dibalik Kunjungan SBY ke Tokyo?

Oleh: Ubedilah Badrun

Senin (27/11), SBY beserta Istri resmi disambut Kaisar Akihito bersama Permaisuri Michiko di Istana Kekaisaran. Suasana penyambutan yang sangat berbeda dengan gaya Indonesia ketika menyambut Mr.Bush, ruangan tempat menyambut Presiden RI itu nampak biasa-biasa saja. Di ruangan yang dikenal dengan ruang Shinju (musim semi & musim gugur) itu tak ada satupun pernak-pernik sebagaimana Indonesia menyambut penguasa Negara Adi Daya. Bagi bangsa Jepang penghargaan kepada tamu penting bukan dengan cara berlebihan menyambut tamu tetapi penghargaan itu lebih ditujukan kepada content, esensi dan kepentingan kunjungan kenegaraan (efektifitas diplomasi).

Meski Terlambat Ada Harapan Bagi TKI Indonesia

Kepentingan kunjungan SBY ke Jepang ini yang paling disorot media massa Jepang adalah pernyataan bersama Jepang-Indonesia tentang Economic Partnership Agreement (EPA). Pernyataan bersama EPA Indoensia – Jepang ini adalah pernyataan bersama paling lambat dibanding negara-negara tetangga antara lain seperti Malaysia, Philipina, Thailand dan Vietnam. Sebabnya cuma satu, lemahnya efektifitas diplomasi tim negosiasi Indonesia sehingga baru ditandatangani pada 24 November lalu. Di media massa Jepang Senin ini muncul pemberitaan menarik seputar bebas bea cukainya mobil-mobil Jepang memasuki Indonesia, disisi lain Jepang nampaknya kemungkinan besar akan memberikan peluang kerja bagi tenaga professional Indonesia untuk bisa bekerja di Rumah Sakit-Rumah Sakit Jepang, khususnya sebagai perawat. Selain itu kesempatan untuk trainee di perhotelan Jepang juga diberikan kesempatan bagi tenaga trampil perhotelan Indonesia selama 3 tahun, selama satu tahun didik di lembaga training perhotelan Jepang dan dua tahun dipekerjakan di hotel-hotel Jepang. Peluang ini sebetulnya bagi Indonesia sangat terlambat sebab Philipina sudah beberapa tahun lalu mengirimkan ribuan perawat dan entertainer ke Jepang. Meski terlambat bisa jadi ini memberi harapan bagi para calon tenaga kerja Indonesia yang berminat ke Jepang.

Doktor Kehormatan Yang Menuai Desas-Desus

Senin (27/11) usai kunjungan kenegaraan di Istana kekaisaran, tepat pukul 14.30 SBY berada di Keio University ( Universitas Swasta terkemuka di Jepang) untuk menerima gelar Doktor kehormatan ( Doctor honoris causa) di bidang media dan tata pemerintahan. Dalam pidatonya SBY antara lain mengemukakan dilema demokratisasi di negaranya yang masih transisional menuju Demokrasi, dilema itu antara lain nampak terlihat pada pergulatan antara pentingnya kebebasan pers dan pentingnya pengendalian kebebasan oleh negara. Beberapa menit sebelum SBY memperoleh gelar Doktor kehormatan tersebut tersebar desas-desus di milist PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Jepang bahwa pemberian gelar Doktor kehormatan kemungkinan juga tidak gratis. Namanya desas-desus sampai berita ini diturunkan masih banyak yang memberikan komentar dan sikap penasaran atas desas-desus tersebut bahkan ada yang menyinggung bahwa dulu ketika soeharto dapat penghargaan FAO juga tidak diperolehnya secara gratis.

Banyaknya Rombongan: Inefisiensi dan Agenda Yang Mendadak

Jumlah rombongan kunjungan kenegaraan ini memang sangat fantastis, seluruhnya berjumlah 99 orang, dari 99 orang ini anggota rombongan yang resmi hanya berjumlah 22 orang. Banyaknya rombongan ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat Indonesia di Tokyo. Pertanyaan yang muncul antara lain berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan? Informasi yang penulis terima dari aktivis penggerak Embassy Watch (EW) Tokyo yang tidak bersedia disebutkan namanya menyebutkan anggaran yang dikeluarkan nilainya bisa mencapai miliyaran rupiah. Ini sebuah inefisiensi yang luar biasa. Selain itu aktivis ini juga mengemukakan bedanya dengan rombongan Negara-negara lain yang berkunjung ke Indonesia, khususnya Jepang kalau ke Indonesia selalu membawa rombongan dengan jumlah yang sedikit namun diplomasinya berjalan efektif.

Hal lain yang juga nampak aneh adalah agenda rombongan yang tidak terjadwal dengan jelas, termasuk agenda dengan pemerintah ataupun komunitas Jepang lainya. Rombongan khusus seperti Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Kalimantan Tengah, tujuh rektor universitas negeri (UI, ITB, UGM, ITS, IPB, Unhas, dan Unand) termasuk mantan anggota KPU Anas Urbaningrum agendanya masih tentatif, mendadak bahkan di hari kedua kedatangan mereka nampak seolah tidak punya agenda yang jelas. Salah seorang aktivis mahasiswa di Jepang yang tidak mau disebutkan namanya mengemukakan bahwa itulah budaya diplomasi Indonesia yang mengganggap negera-negara lain dengan ukuran budaya dan kebiasaan Indonesia yang serba mendadak dan ngasal. Selain itu ada juga yang tidak termasuk rombongan resmi dan rombongan khusus, untuk rombongan ini agendanya hanya mereka yang tau. Ya ,sebuah kunjungan dengan biaya Milyaran namun diselimuti Agenda yang mendadak dan luput dari perhatian dan kritik pers.

Pahlawan !

Pahlawan !

Oleh : Ubedilah Badrun

Setiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri dan karenanya memiliki pahlawannya sendiri. Pahlawan bagi sebuah bangsa adalah spirit yang terus menyala dan menyejarah, ia memberi warna bagi sejarah bangsanya bahkan bagi sejarah kemanusiaan dan peradaban dunia. Namun seringkali karena kontribusinya pada suatu bangsa, sang pahlawan menjadi milik sebuah bangsa saja, ia bukan milik bangsa lain. Sebab bisa jadi pada sosok pahlawan yang sama ia dinilai bukan pahlawan oleh bangsa lain, bahkan dinilai sebagai pemberontak. Sebut saja misalnya pada diri Pangeran Diponegoro, bagi bangsa Indonesia ia adalah pahlawan tetapi bagi bangsa Belanda ia adalah pemberontak. Namun secara substansial nilai-nilai universal yang diperjuangkan sang pahlawan pada tataran tertentu sesungguhnya bisa menjadikan sang pahlawan milik dunia.

Semangat anti penjajahan adalah nilai-nilai universal yang diperjuangkan para pahlawan di dekade abad 19 hingga abad 20. Hanya sedikit orang yang menjadi pahlawan bagi dunia. Karenanya kepahlawanan seseorang sangat interpretatif, subyektif sekaligus juga hasil dari proses obyektivikasi sosial yang melingkupinya. Dalam konteks pahlawan ini, subyektifitas bisa berlaku bersamaan dengan obyektifitas. Karena itu sah-sah saja jika sebuah bangsa menentukan siapa-siapa pahlawan bangsanya. Pada momentum bulan November ini kita bangsa Indonesia sesungguhnya diingatkan kembali untuk merenungkan nilai-nilai kepahlawanan.

Maju terus pantang mundur , lebih baik mati daripada dijajah. Merdeka atau Mati !!” Itulah kalimat yang berkali-kali berkumandang saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Adalah Bung Tomo sang pembakar semangat yang mengumandangkan kalimat tersebut ditengah-tengah pertempuran. Anti penjajahan dan kemauan untuk merdekalah yang menjadi nilai universal yang mampu menyatukan seluruh komponen rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu yang diboncengi Belanda. Merdeka atau mati adalah pilihan sang pahlawan, sebab pahlawan memang pada situasi tertentu seringkali dihadapkan pada pilihan yang paling beresiko, sebuah pilihan kemerdekaan untuk hidup mulia dan bermartabat atau bahkan kematian yang sempurna atau dalam bahasa agama disebut kesyahidan (martyrdom).

Merdeka adalah kewenangan individual maupun komunal untuk hidup bermartabat, hidup mulia, hidup dengan pilihan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaanya. Karena itu merdeka sesungguhnya merupakan nilai universal yang ada pada setiap manusia, yang diperjuangkan oleh para pahlawan. Kini lebih 61 tahun lalu bangsa Indonesia telah menikmati buah dari perjuagan para pahlawan. Sebuah kemerdekaan bangsa. Ya, pahlawan memang selalu berkorelasi dengan buah perjuangannya, tiada pahlawan tanpa buah perjuangan. Saat ini atau esok buah perjuangan itu selalu ada.

Sayangnya memang buah perjuangan itu kadang tidak mampu dijaga oleh generasi manusia berikutnya. Tidak sedikit kemerdekaan sebuah bangsa tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan yang tak bermartabat. Kedaulatan bangsanya seolah digerogoti tanpa sadar oleh ulah dari generasi ke generasi. Menjual aset bangsa tanpa menjunjung tinggi kepentingan rakyat banyak adalah bentuk penggerogotan kemerdekaan dan kedaulatan. Ketergantungan Negara pada negera lain adalah hal lain yang juga berstatus sama. Bisa jadi penyambutan istimewa Mr.SBY pada Mr.Bush dengan biaya 6 milyar dan kerugian masyarakat Bogor milyaran rupiah adalah contoh terakhir penghambaan yang sedang dipertontonkan.

Ya, persoalannya memang ada pada generasi baru yang hidup di zaman berbeda dengan pahlawan tempo dulu. Spirit kepahlawanan telah terkikis oleh tumpukan kepentingan-kepentingan, terkikis oleh berbagai ragam idiologi yang berseliweran menghantui zaman. Seolah masa kini adalah peristiwa yang terpisah dengan masa lalu. Pada konteks ini perlu diajukan kritik bahwa jika masa kini adalah peristiwa yang terpisah dengan masa lalu maka adakah kupu-kupu jika tidak ada kepompong ? dan adakah kepompong jika tidak ada yang membentuknya? Ya, masa kini adalah siklus hidup dari masa lalu.

Nilai-nilai kepahlawanan dari masa lalu bangsa Indonesia patut kita renungkan sebagai kepompong hidup yang membingkai masa depan. Spirit kepahlawanan nampaknya penting dipatrikan kembali secara kuat didada kaum muda Indonesia. Bukankah hidup adalah lembaran-lembaran kepahlawanan bagi kaum yang berpikir ? Lalu, nilai kepahlawanan apa yang bisa kita patrikan ?

Pahlawan selalu memilih hidup mulia. Kemuliaan hidup pahlawan terlihat dari sejauhmana ia memberi manfaat bagi orang banyak. Kemanfaatan pahlawan masa lalu adalah kontribusinya memerdekakan bangsa dan mempertahankan kemerdekaan untuk kehidupan generasi berikutnya, meski sering diakhiri dengan kematian di tiang gantungan atau terkena timah panas yang menembus dadanya. Lalu, kita yang hidup dizaman yang terus berubah ini kemanfaatan apa yang bisa kita berikan untuk orang banyak?

Orang-orang terpelajar atau yang mengaku dirinya kaum terpelajar bisa menjadi pahlawan hanya kalau ia mampu memberikan manfaat untuk orang banyak. Sisi-sisi keilmuan kaum terpelajar adalah pintu-pintu untuk berkontribusi. Persoalannya adalah memilih jalan hidup pahlawan merupakan pilihan penuh resiko. Kesanggupan untuk menanggung resiko adalah ciri kepahlawanan itu sendiri, baik kesanggupan menanggung resiko waktu, resiko harta, hingga resiko kematian. Bangsa Indonesia hari ini miskin pahlawan, bumi pertiwi sedang menangis mencari pahlawan. Adakah kaum terpelajar berduyun-duyun untuk menjadi pahlawan?!

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, Jangan sekali-kali melupakan sejarah, hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan, Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri yang tidak mengerti arti berbangsa dan bernegara, apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun” (Pesan Pahlawan Nasional Bung Karno).

Sulit Bagi Golkar Untuk Beroposisi

Sulit Bagi Golkar Untuk Beroposisi

Sebuah catatan atas tulisan M Alfan Alfian

Oleh Ubedilah Badrun

Tulisan M Alfan Alfian pada rubrik opini harian Kompas (13/9) dengan judul “Mungkinkah Golkar Oposisi ?” menarik untuk ditanggapi. Alfian meyakini dan mendorong Golkar untuk berdiri di luar kekuasaan sebagai kekuatan politik pengimbang yang tidak kalah wibawanya dengan pemerintah. Dorongan ini dilakukan Alfian dengan mengamati perkembangan mutakhir bahwa saat ini Golkar mengalami pertaruhan yang amat berat dengan mengamati betapa pemerintah saat ini kian hari kian menghadapi akumulasi berbagai kritik, dan dimungkinkan Golkar banyak kena getahnya. Latar gagasan ini nampaknya lebih merupakan upaya ‘cuci tangan’ atas gejala empirik mutakhir partai berkuasa di Indonesia untuk mempersiapkan dan menghadapi pemilu 2009. Selain itu upaya untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi dan menjadi partai berwibawa dimasa depan adalah hal yang tidak mudah. Setidaknya ada dua alasan yang bisa menjelaskan hal ini, yakni realitas historis sebagai the ruler’s party dan kecenderungan mengumpulkan ‘modal politik’ melalui birokrasi.

The ruler’s party

Golkar sejak 1964 saat masih berbentuk Sekretaris Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) besutan SOKSI sejatinya dirancang sebagai organisasi alat kekuasaan yang kemudian terbukti mampu menguasai republik ini selama 32 tahun dan bahkan menang kembali pada pemilu 2004 lalu. Tentu saja realitas historis ini menjadi catatan penting untuk mengetahui budaya politik yang telah terbentuk puluhan tahun di tubuh partai berwarna kuning ini. Alfian memang mencoba membedakan antara Golkar lama dan Golkar baru (Partai Golkar) dibawah kepengurusan Akbar Tanjung yang dipujinya karena membawa paradigma baru dan sukses pada pemilu 2004. Namun Alfian lupa bahwa hubungan historis antara Golkar lama dengan Golkar Baru (Partai Golkar) masih signifikan karena ketika terjadi peralihan dari Golkar menjadi Partai Golkar, struktur kekuasaan dan kepengurusan partai dari tingkat pusat sampai daerah tidak mengalami perubahan berarti. Warna birokrasi masih mendominasi partai berlambang pohon beringin ini. Walhasil budaya politik memanfaatkan kekuasaan di birokrasi masih sangat kental, baik pada pemilu 1999 maupun pemilu 2004 lalu (ingat kasus pemanfaatan dana Bulog). Maka tidak heran jika kemudian pada pemilu 2004 Partai Golkar kembali memenangi pemilu.

Realitas histories sebagai the rule’s party (“partainya penguasa”) adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri yang menunjukkan betapa kuatnya jaringan birokrasi Golkar untuk terus bermesraan dengan kekuasaan. Nafsu untuk berkuasa menjadi budaya yang telah mengakar kuat di tubuh partai yang berkuasa selama rezim otoriter orde baru (Soeharto) ini. Karena itu kehendak untuk menjadi oposisi pemerintah saat ini adalah ibarat ‘mimpi di siang bolong’. Sebab riil politik yang bermaen menjalankan negara saat ini adalah Partai Golkar yang diotaki oleh Jusuf Kalla sebagai ketua umum Partai Golkar dan kini berkuasa sebagai Wakil Presiden. Di hampir setiap produk kebijakan pemerintah saat ini telah diwarnai oleh peran Jusuf Kalla. Karena itu segala persoalan akibat tindakan pemerintah saat ini sedikit banyak menjadi tanggungjawab Partai Golkar. Maka jika kemudian menjelang pemilu 2009 tiba-tiba Golkar menjadi oposisi seperti yang disarankan Alfian, maka upaya ini sama halnya dengan keluar dari tanggungjawab politik.

Modal Politik

Dalam waktu tiga tahun mendatang sampai dilaksanakannya pemilu 2009 adalah waktu yang cukup berarti bagi Partai Golkar untuk mengumpulkan modal politik. Modal politik ini penting bagi Golkar untuk kembali menjadi pemenang pemilu 2009 baik pemilu untuk memilih anggota DPR-DPD maupun pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Modal politik yang ingin dicapai Golkar sebagai sebuah partai politik menuju kemenangan pada pemilu 2009 bisa mewujud dalam bentuk pencitraan partai maupun dalam bentuk mengumpulkan pundi-pundi untuk membiayai kemenangan partainya. Pencitraan partai sebagai partai yang bertaubat atas dosa-dosa masa lalunya dan pencitraan sebagai mediator penyelesaian konflik nasional melalui peran Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI adalah upaya yang terus menerus dilakukan sampai saat ini dan kemungkinan besar sampai menjelang pemilu 2009. Pengumpulan pundi-pundi untuk kemenangan partai pada pemilu 2009 juga masih akan terus dilakukan Partai Golkar . Karena itu hal yang mustahil jika Golkar mau menjadi oposisi pemerintah saat ini.

Budaya mengumpulkan modal politik di tubuh Partai Golkar bukanlah budaya baru, tetapi budaya yang sudah begitu kuat mengakar sejak puluhan tahun silam, ketika partai ini masih berbentuk Golongan Karya. Sebuah organisasi satu-satunya non partai di dunia yang ikut pemilu dan memenangi pemilu berkali-kali di Indonesia. Budaya mengumpulkan modal politik inilah yang membuat Partai Golkar memenangi pemilu kembali meski diadakan pada 2004 setelah partai berlambang beringin ini dihujat mahasiswa sejak jatuhnya Soeharto pada 1998. Secara kasat mata modal politik dalam bentuk pundi-pundi yang dikumpulkan melalaui kader-kader Golkar yang menjadi menteri, gubernur, bupati, dan camat di seluruh Indonesia amatlah cukup untuk kembali menjadikan Partai Golkar menjadi pemenang pemilu pada 2009 mendatang. Karena itu adalah mustahil bila Partai Golkar saat ini mau berseberangan dengan pemerintah atau berdiri di luar kekuasaan sebagaimana yang disarankan oleh Alfian.

Oposisi

Budaya politik Partai Golkar bukanlah budaya oposisi, yang terjadi justru selalu ingin mendekati kekuasaan dan mendukung kekuasaan demi kelanggengan eksistensinya yang terus diganggu dan diancam mahasiswa untuk dibubarkan. Dengan mendekati kekuasaan atau menjadi penguasa maka Partai Golkar secara power full telah berada diwilayah yang aman dari gangguan. Lalu, apakah oposisi diperlukan dalam iklim demokrasi di Indonesia ? Sejarah politik Indonesia pernah membuktikan bahwa budaya oposisi di era demokrasi liberal (tahun 1955) telah mampu menampilkan politik Indonesia yang bermutu. Sistim kontrol politik, kebebasan politik, accountability politik, dan budaya pergantian kekuasaan telah mampu malahirkan politik yang bermutu melalui pergantian kekuasaan secara damai dan pemilu yang bermutu pada 1955 hingga kemudian melahirkan Dekrit Presiden 5 juli 1959. Dalam konteks ini oposisi sesungguhnya dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan seperti setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus (Ignas Kleden, 1998).

Partai politik mana yang bisa menjadi oposisi yang sebenarnya (bukan oposisi setengah hati) ? Usai pemilu 1999 dan 2004 lalu tidak ada satupun partai yang memperoleh suara di parlemen mau menjadi oposisi pemerintah SBY-JK. PDIP yang berencana menjadi oposisi pasca pemilu 2004 masih setengah hati karena tidak menjalankan tugas oposisinya dengan sepenuh hati hingga saat ini. Tidak ada satupun kebijakan pemerintah yang memperoleh kritikan keras dan kemudian melahirkan gagasan bernas PDIP dalam menghadapi isu-isu kebijakan pemerintah. Walhasil pemerintah SBY –JK melenggang dengan sempurna menjalankan kebijakan-kebijakannya meski tidak seidkit kebijakannya merugikan rakyat dan masa depan bangsa (kebijakan kenaikan BBM, impor beras, pengelolaan sumber minyak di Cepu, dll). Banyak kalangan aktifis berharap agar PDIP menjalankan fungsi oposisinya dengan sepenuh hati dalam mengawasi pemerintah SBY-JK hingga berakhir saat pemilu 2009 nanti. Jika peran oposisi ini tidak dijalankan dengan sempurna maka bisa dipastikan mutu politik dan mutu kebijakan pemerintah akan jauh dari berkualitas. Atau kita seharusnya hanya patut berharap pada peran oposisi permanen yang dimainkan mahasiswa ? Pasalnya barisan oposisi mahasiswa juga mengalami kemandulan yang luar biasa. Beban ekonomi, beban perkuliahan, dan sedikit tawaran proyek-proyek “penelitian” yang menghasilkan uang telah meninabobokan mahasiswa atas nama kepentingan akademik.

Lalu, pada siapa kita berharap ada ‘barisan pengingat’ (oposisi) ini ? Nampaknya sampai saat ini masih sulit berharap pada PDIP, pada mahasiswa, apalagi pada Partai Golkar sebagaimana yang ditawarkan M Alfan Alfian.? Pasca Pemilu 2009 nampaknya sudah waktunya untuk mempertegas peran oposisi partai politik demi meningkatkan mutu politik dan masa depan bangsa.

<