Saturday, January 28, 2006

Mr.President:Mr.Cuek

Mr. President : Mr. Cuek
Oleh: Ubedilah Badrun

Baru-baru ini saya membaca tulisan di sebuah media massa yang memplesetkan singkatan SBY-JK menjadi Susah Bensin Ya Jalan Kaki. Sebuah singkatan plesetan yang sangat menyindir penguasa saat ini. Sindiran itu entah di dengar SBY-JK atau tidak tetapi ia adalah bentuk protes keras terhadap penguasa saat ini yang dalam satu tahun menaikan harga BBM (maret & oktober 2005 lalu). Kini di awal tahun 2006 lagi-lagi membuat kebijakan merugikan rakyat, yakni mengimpor beras dan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Protes dan penderitaan rakyat tidak dipedulikan, dibiarkan dan di-cuekin. Maka layak kalau SBY saya sebut Mr.Cuek. Saya jadi ingat saat SBY baru berkuasa yang pernah mengatakan I don’t care ketika menghadapi isu-isu miring tentang latar belakang dirinya dan istrinya. Kini sikap itu nampaknya berlaku bagi protes rakyat atas kebijakanya. Dalam konteks kebijakan SBY yang jalan terus tanpa peduli protes rakyat dan tanpa peduli penderitaan rakyat ini nampaknya perlu dicermati. Ada empat hal yang coba saya cermati yakni Soal Kenaikan BBM, Soal Impor Beras, Soal Kenaikan Tarif Dasar Listrik, serta soal Pendidikan di Indonesia. Sengaja di bagian akhir menyinggung pendidikan karena menurut hemat saya pendidikan hampir dilupakan rezim. Dari empat masalah ini saya akan coba diskusikan solusi yang mungkin bisa digunakan komunitas muda bangsa Indonesia.

Kenaikan BBM
Beberapa bulan setelah pemerintahan baru (SBY-JK) dilantik, saya terkaget dengan program pemerintahan baru yang akan menaikan harga BBM di bulan Maret 2005, lalu harga BBM jadi dinaikan dengan diwarnai gerakan protes sporadic dari kalangan mahasiswa. Gerakan protes tidak mampu membendung niatan kuat pemerintahan SBY-JK untuk menaikan harga BBM. Pernyataan SBY dan JK yang simpatik bahwa naiknya harga BBM akan mengurangi subsidi dan subsidi akan dialihkan untuk pendidikan gratis telah meredakan protes mahasiswa. Apalagi kemudian SBY-JK didukung “Intelektual Picisan” yang bergabung dalam Freedom Institute yang mendukung kenaikan BBM dengan membuat Iklan satu lembar penuh di harian Kompas dengan biaya milyaran rupiah. Lalu sekolah gratis tidak ada sampai hari ini. Saya masih ingat bahwa pendidikan gratis merupakan wacana yang dikembangkan pmerintah SBY-JK untuk meminta dukungan kenaikan BBM. Asumsi pemerintah SBY-JK adalah harga BBM di Indonesia sangat rendah karena negara memberikan subsidi sangat besar mencapai Rp.89 triliun per tahun. Dan katanya subsidi sebesar itu mau dialihkan untuk pendidikan sehingga pendidikan bisa gratis. Nyatanya untuk pendidikan hanya 5,6 triliun, lalu ada yang dialihkan untuk dana kompensasi kebutuhan pangan sebesar 5,4 triliun, kesehatan sebesar 2,17 triliun. Lalu sisa 75,83 triliun entah dialihkan kemana? Yang jelas setelah itu gaji anggota DPR naik, anggaran kepresidenan naik, lalu Presiden dan wakil Presiden jalan-jalan ke luar negeri, dll. Dan Sekali lagi, Sekolah Gratis tidak ada hingga saat ini.
Di awal bulan Oktober 2005 (menjelang puasa Ramadhan) SBY-JK kembali menaikan harga BBM , kali ini enggak tanggung-tanggung sampe 150% , sebuah angka kenaikan yang sangat fantastic. Protes mahasiswa dan NGO muncul dimana-mana di hampir seluruh kampus di tanah air, bahkan sempat ada demonstrasi mengepung Istana. Tapi lagi-lagi kandas, harga BBM tetap naik. Lalu mahasiswa diem, dan rakyat di sogok dengan dana kompensasi Rp.300.000, meski harus ngantri puluhan kilometer dan sangat tragis ada yang meninggal dunia saat ngantri dana kompensasi ini. Tapi tak ada yang melakukan perlawanan massif. Padahal dengan mata telanjang kita semua bisa menyaksikan betapa besar dampak sosial dari kenaikan BBM ini, dari naiknya harga-harga barang, naiknya tarif transportasi, kembalinya masyarakat menggunakan kayu bakar, hingga naiknya jumlah angka kemiskinan mencapai 70 juta jiwa, dan diantaranya ada yang sehari hanya makan satu kali, ada yang dua hari sekali, dan ada yang hanya makan bubur nasi putih sehari sekali. Sebuah ketidakberdayaan yang sangat luar biasa dari himpitan kemiskinan karena naiknya harga BBM.

Impor Beras
Drama politik baru saja berlalu, anggota DPR pro angket dan interpelasi soal impor beras di DPR kandas dan terkalahkan oleh kelompok pro impor beras yang menolak hak angket dan hak interpelasi. Ini menjadi kabar menggembirakan buat pemerintah SBY-JK untuk melanjutkan kemauannya mengimpor beras dari Vietnam. Padahal Menteri Pertanian Anton Apriyantono pada 21 Desember 2005 melalui media massa mengemukakan bahwa awal tahun 2006 tidak diperlukan impor beras, karena masih ada kelebihan beras di masyarakat sebanyak 2,4 juta ton. Jumlah 2,4 juta ton beras itu diperoleh dari perhitungan kelebihan beras 2004 yang belum terserap ke masyarakat. Jumlah kelebihan itu masih ditambah stok perum Bulog yang hingga akhir 2005 mencapai 1 juta ton. Data dari menteri pertanian ini nampaknya tidak diyakini SBY-JK hingga tetap ngotot untuk melakukan impor beras dengan dasar data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang baru dan dari sumber-sumber lain yang menyatakan bahwa pemerintah kekurangan stok beras sebesar 110.000 ton untuk memenuhi stok 1 juta ton beras. Angka stok 1 juta ton beras mengikuti rasio angka resiko ketidakmampuan pasokan menurut versi FAO (antara 3-5 persen dari total konsumsi), dan konsumsi beras rakyat Indoensia menurut veri pemerintah tahun 2005 adalah 32 juta ton . Logika inilah yang digunakan pemerintah untuk melakukan impor beras . Padahal data dari ARAM III tahun 2005 konsumsi beras rakyat Indonesia adalah 30,57 juta ton per tahun. Sementara produksi padi mencapai 53,98 juta ton atau setara dengan 31,63 juta ton beras.Dengan data ini seharusnya pemerintah tidak perlu impor beras, karena justru surplus lebih dari 1 juta ton.
Mengenai data dari BPS dan kawan-kawannya termasuk Bulog saya cukup meragukan keabsahannya. Bila mengamati angka-angka konsumsi beras per kapita per tahun ditemukan kejanggalan yang mencolok. Misalnya tahun 2002 rata-rata konsumsi beras mencapai 115,5 kilogram per kapita per tahun, sementara tahun 2003 turun menjadi 109,7 kilogram per kapita per tahun. Menurut analisis Bulog penurunan ini terjadi karena masyarakat mulai mengkonsumsi pangan dengan bahan yang beragam, tidak hanya beras. Lalu tahun 2004 tiba-tiba naik drastis, rata-rata konsumsi beras menjadi 138,81 kilogram per kapita per tahun, dan tahun 2005 naik menjadi 139,15 kilogram per kapita per tahun. Pergerakan angka konsumsi beras per kapita per tahun yang cenderung tidak normal tersebut mengundang tanda tanya saya, ada apa di balik permainan angka-angka konsumsi beras per kapita per tahun ini?
Dalam perspektif lain kebijakan impor beras 110.000 ton (baca: membeli beras petani dari negara lain) yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang sangat mengabaikan kepentingan petani Indonesia. Menurut perhitungan sederhana saya, stok 800.000 ton lebih sudah lebih dari cukup dengan syarat Bulog membeli beras petani pada bulan Februari dan Maret 2006 nanti. Bukankah antara Februari-Maret Petani kita sedang panen raya? Lalu ada apa dibalik Impor Beras ini?
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
Beberapa hari sebelum saya kembali ke Tokyo pemerintah mengumumkan rencana menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang disiarkan melalui berita di media electronik bahwa pemerintah akan menaikan TDL dengan rincian naik 100 % untuk Industri, dan 83-93 % untuk rumah tangga. Saya langsung tersentak mendengar dan membaca berita ini yang ditayangkan televisi angka-angkanya. Alasan pemerintah menaikkan TDL ini karena pemerintah mengatakan terlalu berat menanggung semua beban Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dalam APBN 2006, subsidi listrik yang diperoleh PLN adalah 17 triliun. Menurut pemerintah dengan kenaikan harga BBM , ditambah biaya produksi lainya yang semakin tinggi, membuat biaya pokok penyediaan (BPP) tahun 2006 ini menjadi tinggi. Karena itu PLN menurut pemerintah membutuhkan subsidi 38 triliun, dengan demikian kekurangan 21 triliun. Dengan kekurangan ini maka cara yang paling mudah dilakukan pemerintah adalah menaikan Tarif Dasar Listrik.
Jika kita mencermati data TDL negara-negara Asia Tenggara yang bersumber dari World Bank , TDL di Indonesia tercatat sebagai tariff termahal ke dua diantara negara-negara Asia Tenggara. Saat ini(sebelum kenaikan TDL 100%) TDL Indonesia sekitar 6,5 sen dolar AS per KWH. Sedangkan Malaysia 6,2 sen dolar AS, Thailand 6,0 sen dolar AS, Vietnam 5,2 sen dollar AS, dan Filipina 7,3 sen dollar AS. Saya orang awam tentang energi listrik bertanya-tanya mencermati kenyataan ini, kok bisa-bisanya TDL kita termahal kedua? Bagaimana Indonesia memanfaatkan sumber-sumber energi untuk pembangkit listrik? Lalu saya curiga jangan-jangan terlalu besar mark up BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listrik yang di kelola PLN? Kecurigaan saya lalu terjawab ternyata banyak proyek PLN yang sedang disidik Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), antara lain proyek PLTU Cilacap dengan indikasi kerugian negara Rp.1,6 triliun, proyek PLTU Tanjung Bali (Rp.4,4 triliun), PTPJB (1,75 triliun).
Dalam konteks dampak sosial yang dirasakan rakyat langsung adalah penderitaan yang tak henti-henti, betapa tidak menderita? BBM sepanjang tahun 2005 naik dua kali (Maret & Oktober) dengan angka kenaikan yang sangat mencengangkan, lalu kini Tarif Dasar Listrik juga naik dengan angka yang juga fantastik. Secara otomatis beban hidup rakyat makin berat, belum penderitaan-penderitaan yang datang dari alam dan Virus seperti Banjir, flu burung, demam berdarah, bencana longsor dll. Sebuah penderitaan yang sempurna.

Pendidikan
Saya mengikuti dialog dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla tanggal 24 Januari 2006 lalu di KBRI Tokyo. Saat Wapres menjawab pertanyaan salah seorang pengurus PPI hampir saja saya melakukan interupsi ketika Jusuf Kalla dengan bangganya berbicara tentang anggaran pendidikan. Menurutnya anggaran untuk pendidikan saat ini sudah sangat besar dan paling tinggi sepanjang sejarah Indonesia. Interupsi yang ingin saya lakukan pada saat itu adalah kekeliruan Jusuf Kalla ketika mengatakan anggaran untuk pendidikan saat ini paling besar sepanjang sejarah. Jusuf Kalla nampaknya tidak mengikuti logika perkembangan nilai rupiah yang hampir-hampir tidak berarti di hadapan dollar AS. Jelas jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya lebih besar tetapi nilai rupiah saat ini sangatlah lemah, belum lagi barang-barang pendidikan juga naik drastis mengikuti kebijakan pemerintah menaikan harga BBM. Jusuf Kalla juga lupa bahwa anggaran pendidikan seharusnya 20% dari APBN sebagaimana termaktub dalam pasal 31 UUD 1945. Senyatanya anggaran pendidikan yang diterima Departemen Pendidikan Nasional saat ini kurang dari 7 % yang menurut Jusuf Kalla dianggap paling besar sepanjang sejarah. Disini patut diajukan pertanyaan kritis “bagaimana mungkin pendidikan bisa maju sementara anggaran yang seharusnya digunakan untuk pendidikan malah dipakai untuk anggaran lain ? Itulah salah satu persoalan pendidikan di Indonesia yang anggarannya di sunat sana sini.
Di sisi yang lain Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2005 menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Philipines, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapore yang sesama negara ASEAN. Vietnam berada di urutan 108, Philipines urutan ke 84, Thailand urutan ke 73, Malaysia urutan ke 61, Brunei Darussalam urutan ke 33 dan Singapore urutan ke 25 .(http://hdr.undp.org). Data HDI ini diukur dari indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks perekonomian. Artinya faktor pendidikan menjadi faktor penting yang menentukan HDI Indonesia. Salah satu data yang di pakai UNDP antara lain adalah data pendidikan di Indonesia yang memang kalau dicermati sangat memprihatinkan. Misalnya data tentang angka putus sekolah yang mencapai 1.122.742 anak (Depdiknas, 2005), data tentang angka buta aksara di Indonesia mencapai 15.414.211 orang (Depdiknas,2005), dan data-data lainya yang memprihatinkan.
Persoalan pendidikan juga tidak hanya menyangkut data-data kuantitatif diatas tetapi juga hal-hal lain yang bersifat kualitatif masih menjadi PR besar untuk terus dilakukan perbaikan, antara lain persoalan kurikulum, tenaga pendidik, serta alat ukur pendidikan di setiap jenjang pendidikan.

Mendiskusikan Solusi
Empat masalah yang digambarkan diatas jelas memiliki dampak sosial yang sangat besar dan akan mempengaruhi jalanya kehidupan berbangsa dan bernegara baik saat ini maupun yang akan datang. Lalu solusi apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki persoalan di atas? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi beberapa hal di bawah ini bisa di diskusikan.
Pertama, dalam perspektif politik meyakini bahwa salah satu faktor pengubah terpenting suatu bangsa adalah pemimpinnya. Dalam istilah Roberto Pareto adalah governing elite atau elit yang memerintah, alias penguasa di suatu pemerintahan (S.P.Varma, Modern Political Theory). Sebab elit yang memerintah ini sangat memiliki andil besar dalam pengelolaan negara. Dalam konteks Indonesia kasus naiknya harga BBM, Impor beras, naiknya TDL, kurangnya anggaran pendidikan adalah fenomena produk public policy yang di buat governing elite. Karena itu menjadi governing elite yang memihak rakyat adalah solusi jangka panjang yang harus dimiliki kaum muda terpelajar.
Kedua, pendidikan sesungguhnya menjadi faktor penting perubahan jangka panjang . Sebab tidak hanya karena pendidikan akan melahirkan generasi berkualitas karena kemampuan IPTEK yang dimilikinya tetapi juga pendidikan akan mampu membentuk generasi baru yang masuk dalam kategori Civil Society (Masyarakat Madani) atau masyarakat terpelajar, beradab, kritis, dan memiliki keberpihakan kuat pada kebenaran dan keadilan, serta memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam melahirkan public policy yang peduli pada nasib rakyat maupun mengkritisi public policy yang dikeluarkan pemerintah. Karena itu gerakan mendorong realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN adalah langkah startegis jangka panjang, namun perlu di dorong sejak saat ini.
Profesor Toshiko Kinosita (Guru Besar Waseda University Jepang ) dalam suatu kesempatan pernah mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. (1)pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi . (2) pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. (3) investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Ketiga, organisasi mahasiswa harus terbiasa untuk melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di Indonesia termasuk membuat semacam desa binaan untuk mencerahkan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengapa rakyat Indonesia sudah begitu sangat menderita tetapi tidak melakukan protes yang massif? Sikap protes keras terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat /ummat juga menjadi kewajiban moral kaum muda yang harus terus dijaga. Realitas naiknya harga BBM, Impor Beras, naiknya TDL seharusnya bisa menjadi momentum penting sikap protes keras itu. Apalagi saat ini berhadapan dengan penguasa yang bergelar Mr.Cuek. Kalau mahasiswanya juga Cuek jangan berharap rakyat akan bergerak, yang ada adalah Cuek berjamaah. Nau’zdubillah.

Wallahua’lam

<