Tuesday, January 28, 2014

Demokrasi, Media Massa dan Kepentingan Politik: Sebuah Gugatan

Demokrasi Media Massa dan Kepentingan Politik Sebuah Gugatan
Oleh : Ubedilah Badrun
Membaca perkembangan Demokrasi di Indonesia saat ini memunculkan banyak pertanyaan. Diantara pertanyaan tersebut adalah tentang bagaimana demokrasi bisa meyakinkan menjadi jalan terwujudnya kesejahteraan rakyat jika dalam masa demokrasi justru jumlah angka kemiskinan tidak beranjak berkurang? Mengapa ketika ruang demokrasi dibuka lebar justru konflik sosial makin menajam dan variatif? Mengapa dalam demokrasi justru korupsi, terorisme, dan radikalisasi tumbuh subur? Mengapa atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Pertanyaan pertanyaan tersebut tidak semuanya hendak dijawab dalam artikel ini tetapi penulis hendak menggugat pada pertanyaan terakhir tentang atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Dan apakah dengan demikian negara masih disebut Demokrasi?

Sesungguhnya jika kita menelisik lebih dalam tentang kriteria demokrasi, selain kriteria prosedural model Robert Dahl (on democracy, 1989), menempatkan demokrasi sebagai kontinum bisa menjadi alat ukur demokrasi seperti model yang dikemukakan oleh Lary Diamond, Juan Linz dan S martin Lipset (Democracy in Developing Countries,1989). Jika kita menempatkan Demokrasi sebagai kontinum maka setidaknya ada tiga kategori. Pertama, sistem politik dikatakan demokrasi penuh apabila memenuhi kriteria kompetisi, partisipasi dan kebebasan (fully democracy). Kedua, semi demokrasi atau demokrasi terbatas (restricted democracy) diantara cirinya adalah ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan. Selain itu juga bisa dicirikan pada tataran terbatasnya kebebasan sipil dan politik dimana kepentingan dan orientasi politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Ketiga, derajat terendah adalah nondemokrasi yakni ketika rezim tidak memberi kesempatan kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik. Dengan perspektif tersebut penulis menempatkan Indonesia hari ini masuk kategori restricted democracy yakni ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan seperti yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009 lalu. Selain itu kepentingan dan orientasi politik juga tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Kompetisi, partisipasi dan kebebasan menjadi bias. Pada titik inilah gejala restricted democracy itu makin jelas dengan kuatnya hegemoni politik atas media dengan adanya kepemilikan media massa oleh elit strategis partai partai politik.
Posisi Kontinum Media Massa Dalam Demokrasi
Mencermati fakta politik posisi media massa di Indonesia saat ini posisi kontinumnya secara umum tidak lagi sebagai sumber informasi yang independen. Padahal media massa adalah pilar keempat dalam demokrasi. Rakyat bisa mengontrol jalannya pemerintahan melalui media massa. Peran yang dimainkan media massa adalah menjadi  social control dan pressure groups, dengan demikian posisinya sebagai penyeimbang kekuasaan negara. Namun, idealisme media itu kini terkikis oleh hegemoni kepentingan dan bahkan hegemoni politik. Benar bahwa media massa sejak keberadaanya sudah dipengaruhi oleh kepentingan ideologi, kepentingan bisnis, kepentingan pribadi dan bahkan kepentingan politik. Problemnya adalah ketika begitu hegemoniknya partai politik di Indonesia menguasai media massa karena pemilik media massa adalah juga pengurus inti partai politik bahkan ketua partai atau ketua dewan Pembina partai. Hal ini bisa dicermati pada media massa TV dan media massa Koran. Pada posisi inilah yang kemudian menjadikan peran kontrol media menjadi bias. Dengan demikian kualitas demokrasi juga menjadi rendah karena faktor penyeimbang keuasaan negara atau salah satu pilar penting demokrasi telah rapuh digerogoti kepentingan politik secara subyektif dan besar besaran.

Pertanyaan rasional yang muncul dari posisi kontinum media massa yang dihegemoni itu adalah apa akibat rasional dari fenomena hegemoni politik terhadap media massa secara besar besaran tersebut? Tentu saja kepentingan pemilik modal yang sekaligus politisi lebih diakomodasi. Sementara, aspirasi rakyat banyak tidak dapat tersalurkan sepenuhnya. Sumber berita yang pro terhadap pemilik modal media massa tersebut lebih banyak diberi porsi sementara kelompok masyarakat lainya yang juga membutuhkan advokasi media ditempatkan secara minimalis. Persoalan kemudian yang muncul adalah jika kebenaran sesungguhnya adalah ada pada kelompok yang tidak pro terhadap partai pemilik media massa maka media massa tersebut tidak melakukan advokasi terhadap kebenaran. Ini artinya kebenaran informasi telah ditelikung oleh hegemoni politik terhadap media massa. Rakyat banyak yang juga memiliki hak memperoleh informasi yang benar pada giliranya menjadi dibohongi oleh media. Fakta relasi politik dan media seperti tersebut bisa dibayangkan betapa rusaknya demokrasi jika hampir semua petinggi partai politik memilki media massa secara bebas.
Lalu Dimana Posisi Media Massa
Undang Undanag No 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas mengatakan bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Semangat dibalik undang-undang tersebut adalah agar politik berjalan secara netral. Pengalaman kelam masa orde baru yang diktator menjadi catatan buruk keterlibatan tentara dalam politik dimana tentara memiliki kursi di parlemen secara cuma-cuma dan bahkan hampir semua bupati dan gubernur berlatar belakang tentara aktif. Para analis sering mengatakan berbahaya jika yang punya senjata menjadi penguasa politik. Menurut hemat penulis kepemilikan media massa oleh petinggi partai politik secara substansial sama berbahayanya dengan tentara yang berkuasa secara politik.

Selain TNI, PNS juga pasca reformasi dilarang berpolitik dan dilarang menjadi anggota partai. Undang- Undang yang melarang PNS berpolitik dan menjadi anggota partai politik adalah UU nomor 10 Th. 2008 Tentang Pemilu. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa Pegawai Negeri termasuk PNS sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat.Semangat dibalik larangan tersebut adalah netralitas. Bahwa pegawai negara atau PNS ada untuk melayani rakyat banyak, maka ketika PNS berpolitik bisa mengganggu jalanya tugas tugas negara karena intervensi politik. Hal ini juga berdasarkan pengalaman masa lalu pada masa orde lama (1950-1965) bahwa jatuh bangunnya kabinet berdampak besar pada stabilitas kepegawaian. Juga terjadi pada masa orde baru (1966-1997), PNS dijadikan alat politik utk mempertahankan ke kuasaan. Penguasaan media massa oleh petinggi partai secara besar-besaran yang terjadi saat ini sama juga bahayanya seperti PNS yang dijadikan alat oleh penguasa masa lalu.

Dua fenomena kelam masa lalu yang mengaitkan TNI dan PNS dalam arena politik telah merendahkan kualitas demokrasi secara tajam dan mengerikan. Oleh karena itu media massa seharusnya diposisikan secara netral sama dengan TNI dan PNS. Dalam konteks demi kepentingan kualitas demokrasi itulah sudah saatnya ada undang-undang baru tentang kepemilikan media massa. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka ada kemungkinan masa depan kualitas demokrasi di Indonesia makin suram bahkan membahayakan sebagaimana yang diungkap Robert Kaplan dalam The Coming Anarchy (1994) ketika menemukan fakta bahwa demokrasi tidak menyelamatkan bangsa Afrika. Mungkin Indonesia adalah fakta berikutnya akibat kekerasan subyektif media massa atas kebenaran dan ketidakberpihakanya pada keluhuran politik.
Ubedilah Badrun, Direktur Pusat Studi Sosial Politik (PUSPOL) Indonesia, dan pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Perbaiki Sistim Politik Kita

Perbaiki Sistim Politik Kita
Oleh: Ubedilah Badrun
Hiruk pikuk politik menjelang 2014 makin ramai. Sejumlah partai politik berlomba melakukan manufer politik dengan berbagai agenda politik, baik internal partai maupun agenda yang dikonsumsi untuk publik. Dari agenda pencalegan, pencitraan partai melalui sejumlah iklan di media, konvensi calon Presiden, sampai isu koalisi partai sebelum pemilu.Bahkan tak ketinggalan kampus juga ikut meramaikan hiruk pikuk itu dengan mengadakan seminar Dewan Guru Besar. Momentum 2014 nampaknya menjadi begitu sangat penting bagi perjalanan bangsa ini sehingga seluruh komponen bangsa menguras energi untuk memasuki episode sejarah baru Indonesia pasca 2014.

Dari sekian banyak hiruk pikuk menyambut 2014 itu hampir tidak ada yang mencermati sisi yang membahayakan dari sistim politik yang sedang dipraktekan. Semuanya seolah larut dalam euphora demokrasi yang saat ini berjalan. Logika stake holders politik masih meyakini bahwa jika menang pemilu semua masalah akan selesai. Dari soal dominasi asing di sektor pertambangan yang mencapai 75%, korupsi yang merajalela dengan total kerugian negara mencapai ratusan triliun, hingga utang luar negeri yang mencapai Rp.2.600 triliun dianggap akan bisa selesai setelah terpilih pemimpin baru pasca 2014. Penulis mencermati bahwa dengan sistim politik yang saat ini berjalan, pasca Pemilu 2014 diprediksi akan tetap menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Kapabilitas sistim politik saat ini sesungguhnya tidak mampu menghasilkan suatu rezim yang efektif mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan negara. Mimpi besar mewujudkan tujuan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia itu akan tetap menjadi mimpi karena pemerintahan baru hasil pemilu 2014 tidak efektif. Dengan prediksi itu, sudah saatnya sistim politik kita harus diperbaiki.
Kapabilitas Sistim Politik Kita Lemah
Jika kita meminjam perspektif Gabriel A. Almond (1978) tentang kapabilitas sistim politik suatu negara dengan mencermati 5 kapabilitas maka Sistim politik Indonesia saat ini berada pada posisi yang lemah. Bahkan penulis memprediksi pasca pemilu 2014 juga kita akan melihat kapabilitas sistim politik yang sama. Gabriel A.Almond mengemukakan bahwa semakin mampu sistim politik merespon problem yang ada dalam suatu negara maka semakin maju sistim politik tersebut. Menurut Almond setidaknya ada 5 kapabilitas dari sistim politik yang bisa diamati, yaitu; (1) kapabilitas ekstraktif (kemampuan sistim politik mengelola sumber sumber material & manusiawi ), (2) kapabilitas regulatif (kemampuan sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga), (3) kapabilitas distributif ( kemampuan sistim politik untuk mendistribusikan hal hal material, maupun memberi beragam peluang menguntungkan bagi warga), (4) kapabilitas simbolik (kemampuan secara simbolik untuk menunjukkan kekuatan atau eksistensi negara), (5) kapabilitas responsif ( kemampuan menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik). Jika kita mencermati kapabilitas sistim politik kita dengan menggunakan perspektif tersebut maka fakta tentang dominasi asing disektor pertambangan hingga mencapai 75%, dan kurang lebih 90 % tanah dikuasai asing (AEPI, 2013) itu menunjukkan bahwa kapabilitas ekstraktif sistim politik kita lemah, sistim politik tidak mampu menghadirkan regulasi yang melindungi tanah air Indonesia dari dominasi asing. Efek lanjut dari lemahnya kapabilitas ekstraktif antara lain adalah angka kemiskinan kita yang dalam 9 tahun terakhir tidak berubah secara signifikan berada pada kisaran 12-15 %. Kapabilitas simbolik dan Kapabilitas internasional sistim politik kita juga lemah dengan menunjuk pada kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia maupun kasus sebelumnya kekalahan diplomatik wilayah Indonesia dari Malaysia. Secara ekonomi dengan merujuk data utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp.2.273,76 triliun (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu,2013) juga menunjukkan lemahnya kapabilitas simbolik sistim politik kita di sektor keuangan. Kapabilitas sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga (kapabilitas regulatif) juga nampak semakin lemah. Konflik sosial sepanjang 10 tahun terakhir ini secara kuantitatif dan kualitatif justru meningkat. Misalnya jumlah angka konflik sosial yang setiap tahun rata rata meningkat antara 5 sampai 10 kasus dengan jumlah total kasus konflik sosial pertahun rata rata mencapai antara 70 kasus sampai 80an kasus(Kemendagri, 2013), bahkan makin parah ketika konflik tersebut terjadi antara Polisi dan Tentara. Kapabilitas menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik berupa undang undang (kapabilitas responsif) juga lemah, misalnya merujuk pada target program legislasi nasional (prolegnas) yang tidak tercapai seperti pada prolegnas tahun 2013 dengan target 76 RUU sampai dengan penutupan masa sidang I tahun 2013-2014 hanya 15 RUU yang sudah disyahkan. Bahkan pada periode 2009-2014 ini ada RUU yang sudah jadi Undang Undang kemudian dibatalkan oleh MK karena ada gugatan rakyat, seperti pada kasus UU Badan Hukum Pendidikan. Ini artinya kemampuan merespon input dan memprosesnya menjadi kebijakan nampak begitu lemah.

Praktek korupsi yang merajalela hingga merugikan negara mencapai kurang lebih rartusan triliun rupiah per tahun juga menunjukkan lemahnya sistim politik mencegah tumbuh suburnya parktek korupsi. Bahkan korupsi tumbuh subur dalam praktek politik. Lebih dari 60 % kepala daerah hasil pemilu yang berbiaya mahal itu tersangkut kasus korupsi. Sejumlah menteri juga tersangkut korupsi.Ratusan anggota legislatif juga tersangkut korupsi. Sistim politik saat ini berbiaya mahal hingga setiap kali pemilu biayanya mencapai 49.7 triliun (KPU & Kandidat). Caleg DPRD di tingkat daerah rata rata membutuhkan dana antara 100 sampai dengan 500 juta Rupiah, ditingkat pusat rata rata memerlukan dana 500 sampai 1,5 Milyar Rupiah, calon kepala daerah memerlukan dana antara 50 sampai 100 Milyar, untuk calon Presiden memerlukan dana antara 1 sampai 3 triliun Rupiah( Puspol Indonesia, 2013). Sistim politik yang berbiaya mahal ini telah mendorong praktek korupsi yang saat ini merajalela bahkan sampai pada jantung kekuasaan di Republik ini seperti pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang yang merontokan Partai Demokrat sebagai partai berkuasa saat ini.
Apa Yang Harus Diperbaiki Dari Sistim Politik Kita
Fakta fakta diatas yang membuktikan lemahnya kapabilitas sistim politik kita seharusnya membuat kita miris, apalagi jika kita terus berulang melakukan kesalahan yang sama mempraktekan sistim politik yang sudah berjalan hampir 10 tahun ini dan bahkan akan terus dipakai pada pemilu 2014 nanti. Fakta fakta diatas mendorong penulis untuk ikut urun rembuk melalui tulisan ini agar sistim politik kita saat ini harus diperbaiki. Jika tidak mungkin dipakai untuk 2014 maka perbaikan sistim politik ini mungkin bisa digunakan pada pemilu berikutnya pada 2019. Bagaimana dan apa yang harus diperbaiki dari sistim politik kita?

Ada tiga pola perbaikan sistim politik kita yang mungkin bisa dilakukan. Pola Pertama, kembali menggunakan sistim politik berdasarkan UUD 1945 seperti ketika sebelum diamandemen dengan sedikit perubahan pada masa jabatan Presiden yaitu dibatasi hanya untuk 2 periode masa jabatan. Hal ini berarti hanya dilakukan semacam addendum (tambahan klausul yang terpisah tetapi secara hukum melekat) untuk pasal 7 UUD 1945. Addendum yang dimaksud adalah sebagai berikut :"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan". Dengan demikian masa jabatan Presiden menjadi terbatas hanya dua periode. Hal ini untuk menghindari absolutisme dan diktatorisme kekuasaan. Selebihnya sama dengan sistim politik pada masa sebelumnya. Sistim politik pada masa sebelumnya (Orla & Orba) adalah sistim politik yang memadukan perspektif teori politik modern dengan politik khas Indonesia.

Itulah sebabnya ada dua konsep penting dalam struktur politik kita yaitu konsep musyawarah (politik khas Indonesia) yang secara struktural berbentuk MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan konsep perwakilan/representasi (politik modern) yang secara struktural berbentuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesungguhnya bisa membuat kapabilitas sistim politik terukur dan terarah karena MPR memiliki wewenang melalui musyawarah untuk menyusun Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah pembangunan, MPR juga yang memilih Presiden dan wakil Presiden, sekaligus juga MPR sebagai majelis tertinggi negara bisa melakukan impeachment terhadap Presiden jika Presiden melanggar konstitusi UUD 1945. Pola pertama ini juga diyakini bisa meminimalisir politik uang saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena pemilihan dilakukan di MPR dengan pantuan publik yang ketat dan keberadaan KPK yang kuat saat ini. Apakah pola pertama ini tidak demokratis? Tentu demokratis, karena pola pertama ini tetap menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR dari partai politik. DPR inilah yang dalam konsep trias politica sebagai lembaga legislatif membuat Undang Undang. Bagaimana dengan pemilihan anggota MPR? Untuk menjadi anggota MPR perlu diatur dalam Undang Undang tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR RI. Bisa saja misalnya dalam undang-undang tersebut dimungkinkah anggota DPR adalah juga anggota MPR dan anggota MPR juga bisa berasal dari utusan golongan dan daerah yang berasal dari perwakilan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perwakilan kesultanan seluruh Indonesia.
Pola pertama tersebut paling cocok dengan kultur politik Indonesia dan dengan basis ideologis yang jelas yakni Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat sebagai politik khas Indonesia. Apa mungkin ini bisa dilakukan? Hal ini mungkin dilakukan karena bangsa ini pernah mempraktekkannya hampir setengah abad sejak Orde lama. Pertimbangan ongkos politik yang murah juga menjadi pertimbangan rasional untuk memilih pola pertama ini. Selain itu efektifitas pemerintahan juga bisa terjadi karena dukungan mayoritas parlemen terhadap Presiden dan Wakil Presiden saat pemilihan itu memungkinkan keduanya bisa bekerja efektif.

Pola Kedua, mempertahankan sebagian amandemen UUD 1945 dan menghapus sebagian hasil amandemen UUD 1945. Tentu hal ini dilakukan melalui sidang umum MPR dan dengan pola adendum.. Hal yang dipertahankan dari amandemen bisa saja adalah hanya pasal 6 A hasil amandemen ketiga dari ayat 1 sampai 5, dimana Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi tuntutan mutakhir politik demokrasi modern. Selebihnya dari seluruh hasil amandemen UUD 1945 pertama, kedua dan keempat dihapus. Termasuk di dalamnya penghapusan pemilihan kepala daerah tingkat I maupun tingkat II. Dengan demikian struktur politiknya tetap sama seperti pola pertama tetapi perbedaanya hanya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung oleh rakyat. Pola ini memang bisa membuat Presiden dan Wapres tidak bekerja efektif karena bisa jadi Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tidak didukung mayoritas anggota parlemen di MPR maupun DPR. Tetapi pola ini memenuhi harapan publik domestik maupun internasional tentang tuntutan demokrasi modern.

Pola Ketiga, mempertahankan hasil amandemen seperti saat ini tetapi melalui undang undang baru menyerahkan pemilihan kepala daerah pada DPRD tingkat Provinsi dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dilaksanakan secara langsung. Selain itu Pemilu Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR, DPD, dan DPRD bisa dilakukan secara serentak sebagai cara untuk mengurangi ongkos politik (efisiensi). Jika pola ketiga ini terus menjadi pilihan sistim politik Indonesia maka yang perlu diperbaiki adalah pada keberadaan DPD. Dengan sistim parlemen bicameral saat ini peran DPD nampak tidak signifikan, sebagai senator selayaknya DPD diberikan juga wewenang untuk turut memiliki wewenang legislasi yang luas sebagaimana juga wewenang DPR. Selain itu perlu ada perubahan pada undang-undang politik berkaitan dengan parliamentary threshold yang 3,5 % menjadi 6 %. Karena dengan angka 6 % ini maka akan muncul partai politik yang memiliki suara dominan dan bisa meminimalisir koalisi pragmatis partai politik yang selama ini terjadi sejak 2004 lalu. Menaikan angka Parliamentary threshold menjadi 6 % ini menjadi keniscayaan politik jika kita ingin bangsa dan negara ini pemerintahannya bisa bekerja efektif dan mencapai tujuan negara yang ingin dicapai Republik ini. Tetapi jika tidak berubah angka Parliamentary threshold ini maka kapabilitas sistim politik kita akan tetap lemah dan dapat dipastikan pemerintahan tidak akan bisa bekerja efektif. Semoga tiga pola perubahan tersebut bisa menjadi agenda politik penting pada masa sidang MPR pasca pemilu 2014.
Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan Direktur Puspol Indonesia (Pusat Studi Sosial Politik Indonesia). .

Korupsi MK,Kleptokrasi dan Hukuman Mati

Korupsi MK,Kleptokrasi dan Hukuman Mati
Oleh: Ubedilah Badrun
Sehari setelah menangkap Akil Mochtar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia itu sebagai tersangka. Akil Mochtar menjadi tersangka dua kasus dugaan suap dengan barang bukti uang sekitar Rp 3 milyar dalam mata uang asing dan Rupiah.

Kepastian status tersangka ketua MK itu disampaikan setelah penyidik KPK menggelar pemeriksaan terhadap 13 orang selama lebih dari dua belas jam sejak penggerebekan Rabu lalu. Ketua MK, Akil Mochtar, merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap KPK. Dia diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten.

Dari kronologi yang disampaikan oleh pimpinan KPK, penyerahan uang dilakukan langsung di rumah tersangka dalam mata uang US$ dan SING$ senilai Rp 2 milyar, sementara Rp 1 milyar lainnya disita dari tempat lain.

Peristiwa ini sontak membuat nurani kita bergejolak marah bercampur miris karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia. Sebuah institusi yang sejak berdirinya sangat disegani dan berhasil membangun wibawa hukum di Indonesia. Kini itu semua telah runtuh. Jika kita mencermati kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari tingkat daerah sampai pejabat tinggi negara ini menurut data Puspol dalam 15 tahun terakhir ini telah menggenapkan jumlah kasusnya menjadi 150 kasus. Ini artinya makin menguatkan tesis bahwa negeri ini adalah benar benar negeri kleptokrasi. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat, atau antara aparat negara dengan pihak pihak lain. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu. Korupsi di MK menjadi bukti makin mengerikan negeri kleptokrasi ini.Mengapa?

Selain karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia, juga karena peristriwa ini membuat publik meragukan kebenaran semua putusan sengketa pemilu yang dibuat MK. Dapat dibayangkan jika semua putusan sengketa pemilu itu terbongkar maka betapa banyak kepala daerah mendapatkan kekuasaan dengan transaksi di MK. Dan itu artinya legitimasi kepala daerah tersebut adalah lemah dan bisa batal demi hukum. Ya makin mengerikan jika kemudian memberi pengaruh bagi munculnya gerakan sosial karena protes keras terhadap banyaknya kasus kleptokrasi ini dan salah satu sarang terbanyaknya justru ada di MK, sebuah lembaga hukum negara.

Kleptokrasi ini juga menunjukkan sedemikian parahnya perilaku korup para pejabat. Korupsi pejabat ini begitu sistemik dan meluas. Indonesia sesungguhnya sedang kronis korupsi. Lalu, bagaimana solusinya?Sebagai penyakit kronis maka solusi terbaiknya adalah amputasi atau jika ia tidak bisa diamputasi maka tubuh akan mati sendiri. Rakyat banyak yang dikorbankan. Negeri ini bisa mati oleh korupsi yang meluas dan sistemik itu. Solusi amputasi untuk membuat korupsi berhenti adalah hukuman mati untuk para koruptor. Kleptokrasi ini akan berhenti jika hukuman mati untuk koruptor dipraktekkan. Karenanya hukuman mati harus berlaku untuk para koruptor, sebagaimana juga berlaku untuk teroris, pemilik dan pengedar narkoba, pelaku mutilasi dan atau pembunuhan berencana.
Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ dan Direktur Puspol Indonesia.

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi
Oleh : Ubedilah Badrun
Akhir akhir ini mulai muncul elit politik dan elit pebisnis di Indonesia yang menanggalkan nasionalisme dalam praktik bisnis dan politiknya. Penulis masih ingat ada pejabat negara yang berkata “ katongi dulu nasionalismemu” untuk mengikuti arus dominasi asing di Republik ini. Nampaknya elit politik dan elit pebisnis republik ini berlindung dibalik kata kata itu agar kita percaya bahwa dia sedang menembunyikan nasionalisme nya untuk kepentingan nasionalisme yang lebih besar. Pada realitanya justru persembunyian nasionalisme itu makin terkubur dan elit politik dan elit pebisnis itu larut dalam gelombang neoliberalisme yang menggerus Republik ini. Implikasi dari makin terkuburnya nasionalisme itu adalah wajah ekonomi kita yang terus dililit utang yang terus bertambah hingga melampaui 2000 Triliun dan kini target pertumbuhan ekonomi juga tidak tercapai sehingga mau tidak mau negara juga akan menambah hutang lagi. Sementara sumber daya alam kita juga dikuasai asing hingga mencapai kurang lebih 75 %, serta sektor perbankan juga dikuasai asing mencapai 51 %. Angka kemiskinan juga belum berubah kisarannya antara 12 s.d. 15 %. Angka pengangguran usia produktif bahkan terburuk di Asia Pasifik. Lalu pantaskah elit politik dan pebisnis berkata “kantongi dulu nasionalismemu!” ?.Elit politik dan Pebisnis yang demikian itu sudah waktunya diakhiri. Terlalu besar social cost yang diderita rakyat akibat nihilnya nasionalisme di kepala dan hati elit politik dan elit pebisnis Republik ini. Nasionalisme kita telah dikungkung dalam krangkeng neoliberalisme, sementara rakyat sebagai pewaris sah hak kesejahteraan telah mereka kangkangi. Sesungguhnya elit politik dan elit pebisnis telah berdosa terhadap rakyat banyak yang kini mengalami derita ekonomi dan sosial. Jangan lagi kesampingkan nasionalisme dalam mengurus negeri ini. Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan sejak awal sebelum Republik ini merdeka ketika di depan pengadilan Belanda melakukan pembelaan dengan judul Indonesia menggugat. Pada 18 Agustus 1930 itu Bung Karno mengatakan “ Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa” (Indonesia Menggugat, hlm 106). Poin penting dari penggalan pidato itu adalah bangsa ini ada karena semangat nasionalisme yang kuat dan semangat nasionalisme yang kuat itu pulalah yang bisa menjadi energi besar bagi kemajuan bangsa.

Selain nasionalisme dikungkung dalam krangkeng neolib, nasionalisme juga kini dikrangkeng oleh tumbuh suburnya oligarki. Nasionalisme ditinggalkan dalam praktek politik, dipasung dalam krangkeng tertentu, karena nafsu oligarki lebih dominan dalam praktek politik Republik ini. Oligarki dalam praktek politik dimaknai sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang karena motif mempertahankan kekayaan dan kekuasaan dengan berbagai cara. Para oligark berjaya dalam kekuasaan karena ditopang oleh apa yang dinamakan income defense industry yang implikasi lebih sistemiknya salah satunya dapat berupa konsesi penundaan kewajiban pajak pendapatan terhadap negara. Akuntan, konsultan hukum, aparat hukum, pengelola pajak ada yang dikendalikan oleh para oligark ini dan mereka menjadi bagian penting dari apa yang disebut income defense industry (Jeffrey A Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, 2011).

Jika meminjam perspektif Winters (2011) diatas maka Indonesia saat ini dalam praktek politiknya masuk kategori Oligarki Sultanistik yang bercirikan monopoli patron-klien. Pola pola seperti SBY Connection, ARB Connection, RR Connection, SMI Connection, SP Connection, dll yang didalamnya membangun pola patron-klien telah menjadi fakta politik yang dalam praktiknya dibangun dalam bingkai oligarki sultanistik. Mereka itulah yang mengendalikan jalannya ekonomi dan politik di republik ini. Demokrasi hanyalah formalitas untuk menutupi praktik ‘Oligarki sultanistik’ itu. Rakyat kembali hanya sebagai objek penderita dari kamuflase Demokrasi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak lagi dipake dalam praktik politik di Republik ini. Demokrasi kita kehilangan originalitasnya. Praktek demokrasi liberalistik telah banyak menumbuh suburkan praktek money politic dan sekaligus makin memperkuat ‘oligarki sultanistik’. Dalam sistem yang demikian itu maka nasionalisme dan kepentingan nasional ditinggalkan.

Nasionalisme juga dikrangkeng ketika Kleptokrasi menjadi salah satu dari wajah ganda kekuasaan di Indonesia selain Oligarki. Lengkap sudah derita ekonomi politik Republik ini. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu (M.Mustofa, 2010). Tidak sedikit data untuk menunjukkan bahwa kleptokrasi memang terjadi di Indonesia. Lebih dari 147 kasus pola kleptokrasi ini terjadi di Indonesia. Peristiwa mutakhir yang masih lekat dalam ingatan kita antara lain adalah kasus Century, kasus Nazarudin Hambalang dan baru baru ini dalam kasus RR SKK Migas.

Dalam momentum 17 Agustus ini, sudah waktunya seluruh elit politik, elit pengusaha, dan bangsa Indonesia meninggalkan oligarki dan kleptokrasi dan merumuskan secara tegas apa hakekatnya kepentingan nasional dan bagaimana kepentingan nasional ditempatkan dalam praktek politik dan ekonomi negeri ini.
Ubedilah Badrun Direktur Eksekutif Puspol Indonesia.

<