Tuesday, April 15, 2014

Peta Koalisi Capres Cawapres 2014

Peta Koalisi Capres-Cawapres 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindo tanggal 13 April 2014: http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/13/116/853637/peta-koalisi-capres-cawapres-2014

Mencermati perolehan suara sementara quick count pemilu legislatif 2014 dan kecenderungan ketokohan sejumlah calon presiden (capres), pasca perhitungan akhir pemilu legislatif nanti ada kecenderungan akan muncul tiga sampai empat pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Kecenderungan capres-cawapres ini lebih dipengaruhi oleh tokoh sang capres dan pola perolehan suara masing masing partai untuk mencukupi 20 % presidential threshold.
Tiga Sampai Empat Pasangan Capres-Cawapres
Tiga sampai empat kecenderungan capres-cawapres tersebut adalah; Pertama, Jokowi berpasangan dengan Suryapaloh atau Muhaimin Iskandar atau Jusuf Kalla. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi dari partai PDIP ( dengan perolehan suara kurang lebih19 %), PKB (9 %), NASDEM (6%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam tradisional- cenderung Pro Pasar. Kedua, Prabowo berpasangan dengan Surya Dharma Ali atau Hatta Rajasa atau Dahlan Iskan. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi dari partai GERINDRA (12%), PPP (7%), dan PAN (7%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam Moderat- cenderung Pro Pasar. Ketiga, Aburizal Bakri berpasangan dengan Pramono Edhi atau Anis Matta atau Wiranto. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi partai GOLKAR (14%), PD (9%), PKS (7%) dan HANURA (5%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam Moderat- cenderung Pro Pasar. Dengan kecenderungan itu dan pola koalisi seperti diatas maka pemerintahan baru kedepan cenderung pro Pasar dan nampaknya akan berjalan kurang efektif karena dukungan parlemen kurang maksimal.

Selain ketiga kecenderungan capres-cawapres dan koalisinya tersebut diatas, masih memungkinkan terjadi perubahan pola koalisi dan bertambahnya capres-cawapres menjadi empat pasangan. Hal ini terjadi jika partai partai Islam moderat melakukan konsolidasi membangun koalisi misalnya PKS, PPP, PAN dan PBB. Koalisi Islam Moderat (KIM) ini nampak sulit tetapi dimungkinkan terjadi jika tiga kecenderungan capres-cawapres sebelumnya gagal membangun koalisi dengan partai Islam karena tidak berhasil meyepakati konpensasi kursi menteri di kabinet mendatang dan perbedaan gagasan tentang solusi masa depan Indonesia. Pola koalisi juga masih mungkin berubah jika Jokowi atau Prabowo memilih berpasangan dengan akademisi atau tokoh independen atau dengan Rismaharini, mantan walikota Surabaya yang dikenal sukses memimpin Surabaya.
Kelemahan,Kekuatan Capres dan Koalisinya
Bagaimana dengan kekuatan dan kelemahan capres dan koalisinya? Kelemahan utama koalisi Jokowi adalah ada pada model leadership Jokowi yang dinilai tidak mengikuti pakem kepemimpinan modern, selain itu juga nampak tidak memiliki kekuatan gagasan-gagasan besar tentang masa depan Indonesia. Selain itu koalisi ini hanya dominan mengandalkan basis masa di Jawa-Bali dan sebagiam kecil di Sumatera. Koalisi ini juga terlihat bergantung dengan tokoh. Sementara kekuatan utama koalisi Jokowi adalah citra positif Jokowi sebagai pemimpin merakyat, finansial yang besar, pemilih tradisional yang setia, kekuatan media massa, dan mesin politik partai yang bekerja.

Kelemahan utama koalisi Prabowo adalah ada pada rekam jejak Prabowo dimasa lalu yang belum menguap dari ingatan publik dalam kasus penculikan aktivis dan kerusuhan mei 1998, belum optimalnya kerja-kerja mesin politik partai di koalisi ini dan tiadanya kepemilikan media utama dalam koalisi ini. Koalisi ini juga terlihat dominannya tokoh Prabowo. Sementara kekuatan utama koalisi Prabowo adalah citra leadership yang kuat Prabowo sebagai pemimpin yang tegas dan berani, finansial yang besar, dan pemilih tradisional yang setia. Sementara kelemahan utama koalisi Aburizal Bakri adalah ada pada rekam jejak bisnis Aburizal Bakri dimasa lalu dalam kasus lumpur Lapindo, dan kurang solidnya Golkar mendukung Aburizal Bakri. Sementara kekuatan utama koalisi Aburizal Bakri adalah finansial yang besar, kekuatan media massa, dan pemilih pemula perkotaan. Sementara jika koalisi Islam moderat (KIM) terbentuk kelemahan utamanya ada pada minimnya kekuatan media massa, dan finansial. Tetapi kekuatan utama KIM ini ada pada mesin politik partai yang bekerja, adanya pemilih setia, pemilih pemula muslim perkotaan, dan dapat memanfaatkan kapital identitas keagamaan.
Pemenang Pilpres 2014?
Dengan mencermati kekuatan dan kelemahan capres-cawapres dan koalisinya tersebut maka dapat diprediksi bahwa pemilu Presiden kedepan akan berlangsung dua putaran karena masing masing capres dan koalisinya memiliki kekuatan berimbang. Perolehan suara juga cenderung tidak jauh berbeda. Selain itu dengan kekuatan yang berimbang ini maka attacking politik akan sangat tinggi antar calon presiden bahkan cenderung mengarah kepada tingginya kecenderungan black campaign (kampanye hitam) antar capres. Keterampilan melakukan serangan balik terhadap kampanye hitam, keterampilan mengemukakan gagasan gagasan besar solusi Indonesia masa depan, marketing politik yang kreatif serta bekerjanya mesin politik pasangan capres-cawapres akan menentukan siapa pemenang pemilu Presiden Juli mendatang.
Ubedilah Badrun, Direktur Puspol Indonesia & Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di aktual.co tanggal 14 April 2014

Hasil pemilu legislatif 2014 belum usai dihitung, elit politik seolah terhipnotis oleh hasrat berkuasa yang memuncak ketika perbincangan capres cawapres dan soal koalisi mengemuka. Elit politik mupun publik hampir lupa atau bahkan hilang sikap kritisnya terhadap penyelenggaraan pemilu yang sesunggunnya tidak luput dari kecurangan dan tumbuh suburnya money politic yang jauh lebih dahsyat dan lebih liar dan terbuka pada pemilu 2014 ini dibanding pemilu sebelumnya. Para politisi nampaknya lupa tentang spirit utama memasuki arena politik yang telah dicontohkan para pendiri bangsa ini. Mereka lupa menjadikan Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Natsir, dan lain lain sebagai contoh empirik politisi yang menempatkan national interest (kepentingan nasional) sebagai orientasi utama. Nampaknya elit politik juga lupa menjadikan para pendiri bangsa itu sebagai contoh empirik dari wajah elit politik Indonesia yang menempatkan etika politik sebagai panglima.
Orientasi Politik
Dalam khazanah politik klasik lebih dari dua ribu tigaratus tahun lalu gagasan demokrasi sebagai bagian dari politik diperdebatkan dan diparktekan. Buah perdebatan dan eksperimen demokrasi itu kemudian melahirkan apa yang sekarang dikenal sebagai pemilihan umum atau pemilu. Jika kita merujuk pada gagasan awal politik demokrasi itu sesungguhnya bertujuan untuk mewujudakan kehidupan yang lebih baik ,Aristoteles (450 SM) menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dari khazanah klasik ini kita diingatkan tentang sebuah orientasi politik yang mulia yakni en dam onia, sebuah kehidupan yang lebih baik, bukan orientasi utamanya merebut kekuasaan.

Tentang etika politik dan kemuliaan orientasi politik dimasa lalu perlu dikemukakan, hal ini untuk mengingatkan tentang sesuatu yang penting dari sekedar perebutan kekuasaan di dalam politik. Salah satu yang menggambarkan hilangnya etika politik dan memudarnya orientasi mulia dalam politik adalah ketika politik dijadikan komoditas dan sebagai arena kompetisi liar dan arena transaksional tak ubahnya seperti jual beli di pasar loak atau bahkan di black market.

Sesungguhnya politisi saat ini bisa belajar banyak hal dari para p[endiri bangsa, dari soal menempatkan kepentingan nasional, idealisme, sampai soal kesederhanaan. Meski pada mereka semua keteladanan itu ada pada masing masing tokoh, penulis coba ambil sisi dominannya dari mereka. Pada Soekarno-Hatta kita bisa belajar bagaimana menempatkan kepentingan nasional dan idealisme kebangsaan sebagai hal utama. Pada Agus Salim kita bisa belajar kesederhanaan meski menjadi pejabat negara tetapi tetap hidup sederhana bahkan nomaden dari kontrakan ke kontrakan. Pada Hatta kita bisa belajar bagaimana ia pandai mengelola emosi dan menahan diri dari keinginan keinginan materialnya, bahkan sepatu impiannya pun tak sampai terbeli hingga akhir hayatnya. Atau kepada Natsir yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel kekontrakannya. Atau pada Wahid Hasyim kita bisa belajar bagaimana kita mesti punya sikap menghormati minoritas. Atau pada Tan Malaka yang memilih jalan hening berjuang membangun idealisme anak muda tanpa hingar bingar publikasi media. Keteladanan mereka perlahan kini makin hilang diarena politik liberal negeri ini pasca amandemen UUD 1945. Pemilu yang transaksional dan tumbuh subur nya money politic telah mengikis etika politik kebangsaan elit politik kita. Elit politik nampak membiarkan praktik praktik curang dalam pemilu leguslatif 2014 yang baru saja usai .
Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Andrew Reynolds & Ben Reilly(2002) meyakini bahwa pemilihan umum adalah metode dimana suara suara rakyat diterjemahkan menjadi kursi-kursi milik partai dan milik para kandidat anggota legislatif yang memenangkan pemilihan. Begitu juga ilmuwan politik lainya seringkali memahami perolehan kursi sebagai produk kompetisi pemilu antar kandidat, tetapi tidak banyak yang meneliti dan mengamati secara serius tentang bagaimana sebuah partai atau kandidat mendapatkan suara yang berbuah kursi di parlemen atau jabatan negara lainnya. Ada banyak cara mendapatkan kursi di parlemen selain cara cara normal seperti kreativitas marketing politik, popularitas dan bekerjanya mesin politik. Dalam konteks inilah menjadi penting mencermati pola pola jual beli suara dalam pemilu legislatif 2014 yang baru saja dilaksanakan beberapa hari lalu.

Sedikitnya ada lima pola jual beli suara yang terjadi pada pemilu 2014 yang penulis temukan dari deep interview kepada para pemilih. Pertama, pola makelar tokoh lokal. Pola ini seringkali terjadi seminggu atau beberapa minggu sebelum pemilihan umum dilangsungkan. Biasanya sang makelar tokoh lokal mendekati para calon anggota legislatif (caleg) atau sebaliknya dan menawarkan jaminan perolehan suara dengan jumlah perolehan suara tertentu dengan harga tertentu. Makin besar jumlah rupiah yang diberikan maka makin banyak jumlah suara yang diperoleh. Rata rata persuara dihargai antara 20 ribu sampai 200 ribu. Cara ini dianggap cenderung lebih aman bagi para caleg karena caleg tidak memberikan uang langsung ke pemilih tetapi sang makelar tokoh lokal tersebut yang memberikan langsung. Kedua, pola Pembeli Surat Berharga. Pola ini dilakukan oleh pelaku pembeli surat panggilan pemilih yang tidak ada orangnya atau meninggal dunia tetapi ada di DPT. Pelaku dalam pola ini biasanya mendekati PPS sehari atau seminggu sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara dengan menanyakan kepada panitia atau pengurus ditingkat RW tentang surat panggilan yang tidak ada pemilihnya. Jika sang pembeli ini menemukan jawaban dari PPS bahwa ada banyak surat panggilan yang tidak ada pemilihnya maka mereka tidak segan segan langsung mau membeli surat panggilan tersebut.Rata rata mereka menawarkan harga satu surat panggilan pemilih seharga 5 ribu sampai 20 ribu rupiah. Biasanya mereka menyewa orang untuk memilih di TPS tersebut sesuai surat panggilan.

Ketiga, pola beli langsung. Pola ini dilakukan langsung oleh caleg yang bertemu dengan pemilih dengan memberikan langsung uang kepada pemilih beberapa hari sebelum pemilu dan beberapa jam sebelum pemungutan suara. Besaran pola beli langsung ini satu suara senilai 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Keempat, Pola Sembako. Pola ini dilakukan oleh aktivis atau pengurus partai ditingkat lokal bekerjasama dengan masyarakat setempat. Pola sembako ini mereka memberikan bingkisan kepada pemilih dengan isi bingkisan berupa bahan bahan sembako lengkap yang terdiri dari minyak goreng, beras dua liter, gula 1 kg, teh celup, mie instan 2 sampai 5 bungkus. Pemberian sembako ini dilakuam oleh caleg dengan memanfaatkan struktur partai ditingkat bawah. Besaran caleg atau partai politik dalam satu kabupaten mengeluarkan paket sembako nilainya mencapai 1 sampai 10 Milyar. Kelima, Pola Bom. Pola bom ini dilakukan hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara. Disebut bom karena nilai uang yang diberikan kepada pemilih adalah nilai tertinggi dari semua caleg yang memberikan uang kepada pemilih. Sang caleg atau kaki-kakinya berani memberikan uang tertinggi kepada pemilih di jam terakhir atau sering juga disebut serangan fajar beberapa jam sebelum memilih dengan harapan pemilih akan memilih mereka yang memberikan uang paling banyak. Keenam, Pola Beli Suara Caleg Lain. Pola ini dilakukan usai perhitungan suara. Suara caleg yang memenuhi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih dalam suatu Daerah Pemilihan) atau suara caleg yang paling besar dalam satu partai dipastikan mendapatkan satu kursi karena limpahan dari suara partai jika memenuhi BPP. Tetapi untuk memenuhi BPP tidaklah mudah oleh karenanya caleg yang berduit berani membeli suara dari caleg lain baik internal caleg satu partai, maupun suara dari caleg partai lain, dan ini membutuhkan keterampilan sistemik untuk melakukan perubahan angka angka dalam form D1 dtingkat KPPS agar tidak merubah jumlah pemilih yang datang ke TPS.

Temuan pola jual beli suara pada pemilu 2014 tersebut membenarkan tesis penulis sebelumnya dalam tulisan dengan judul Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Tipologi Caleg pada Pemilu 2014 (http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/04/116/850729/), bahwa kecenderungan pemenang pemilu legislatif adalah mereka caleg yang masuk kategori prestise dan trader yang memiliki modal ekonomi yang besar. Pola jual beli suara ini secara sistemik merusak kualitas demokrasi. Mereka yang terpilih adalah mereka yang mengeluarkan uang banyak dalam pemilu dan dengan caleg seperti itu maka akan cenderung menjadi anggota legislatif yang orientasinya bukan untuk kepentingan nasional. Selain itu, jual beli suara yang marak dan beragam ini juga merusak partai yang bekerja secara serius merawat konstituen sepanjang 5 tahun sebelumnya sekaligus juga merusak konstruksi berfikir masyarakat yang pada akhirnya menganggap lumrah praktek jual beli suara. Jika jual beli suara ini dianggap lumrah, maka kesimpulannya Republik ini sedang rusak!
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Direktur Puspol Indonesia.

Persinggungan Tipologi Pemilih Dengan Caleg Pada Pemilu 2014

Persinggungan Tipologi Pemilih Dengan Caleg Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindo tgl 4 April 2014: http://nasional.sindonews.com/read/2014/04/04/116/850729/persinggungan-tipologi-pemilih-dengan-caleg-di-pemilu-2014

Dalam khazanah sosiologi politik dikenal konsep voter behavior (perilaku pemilih). Salah satu tokoh yang memperkenalkan konsep perilaku pemilih adalah Seymour Martin Lipset. Dalam karyanya Political Man: The Social Bases of Politic (1960) Lipset menjelaskan sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, diantaranya faktor sosial ekonomi, etnik, dan agama yang membentuk tipologinya sendiri. Aktivis Partai atau calon anggota legislatif (caleg) memerlukan pemahaman ini. Karena dengan pemahaman perilaku pemilih sesungguhnya memudahkan mereka membuat strategi politik, mengetahui cara merebut hati pemilih. Sayangnya sangat sedikit caleg atau partai yang secara serius menganalisis tipologi pemilih sebelum mereka kampanye dan bertarung dalam pemilu. Sementara disisi lain pada arena kontestasi politik pemilu, ternyata caleg juga memiliki tipologinya sendiri. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana tipologi pemilih dan tipologi caleg pada pemilu 2014? Bagaimana persinggungan keduanya? Dengan persinggungan tipologi itu bagaimana kemungkinan hasil pemilu 2014?
Tipologi Pemilih
Dalam pengamatan penulis dengan menggunakan perspektif tipologi dan sosiologi politik, pada pemilu 2014 ini sedikitnya ada enam tipologi pemilih. Pertama, pemilih tradisional (traditional Voter). Pemilih tipe ini memiliki hubungan tradisional dengan kontestan pemilu baik dengan caleg maupun dengan partai politik. Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial, ikatan nilai-nilai bahkan ikatan ideologis.Pemilih tipe ini cenderung konsisten memilih satu partai dari generasi ke generasi. Mereka sering juga dijadikan sebagai basis tradisional partai tertentu. Di Indonesia pada pemilu 2014 ini, tipe pemilih seperti ini ada pada partai yang lahir dari ormas keagamaan. Misalnya pada partai PKB yang lahir dari kultur ormas NU, PAN dari kultur ormas Muhammadiyah maupun PBB dari kultur ormas Persis atau Persatuan Islam. Dapat dipastikan partai partai tersebut memiliki pemilih setia. Kedua, pemilih subyektif (subjective voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena memiliki hubungan emosional dengan kontestan, khususnya dengan caleg atau figur populer tertentu. Subyektifitas pemilih ini terjadi karena kontestan telah mencuri perhatian pemilih dengan unsur unsur subyektif ketokohan para kontestan baik di design maupun alamiah. Tipologi pemilih subyektif ini cukup dominan terjadi pada pemilu 99 dengan ketokohan Megawati, pada pemilu 2004 dan 2009 dengan ketokohan SBY, dan pada pemilu 2014 ini pemilih subyektif akan dominan muncul pada ketokohan Jokowi dan Prabowo. Tentu saja pemilih subyektif ini ada yang berkorelasi memilih partai sang tokoh dalam pemilu legislatif tetapi memungkinkan juga mereka memilih tokoh saja saat pemilu Presiden tetapi pada pemilu legislatif memilih partai lain.

Ketiga, pemilih pragmatis (pragmatic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan pragmatis, mana yang menguntungkannya itulah partai atau kandidat caleg yang dipilihnya. Pada pemilu 2014 ini pemilih pragmatis jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal saat ini telah menumbuhsuburkan pola politik transaksional. Perilaku korup adalah turunannya yang tumbuh subur di era politik liberal 2014. Kompetisi antar caleg satu parati maupun beda partai telah menumbuhsuburkan perilaku pemilih pragmatis. Ini adalah dosa politik terbesar dari sistim politik liberal saat ini di Indonesia. Keempat, pemilih skeptis (skeptic voter). Pemilih tipe ini meragukan semua partai, mereka tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk tidak menganggap penting ideologi partai politik. Mereka juga tidak meyakini bahwa partai akan benar benar memperjuangkan kepentimganya. Tetapi mereka ini tidak mau dikategorikan golput (golongan putih) yang tidak ikut pemilu. Mereka tetap ingin dinilai sebagai warga negara yang baik ikut berpartisipasi memilih dalam pemilu. Tetapi mereka memilih dengan dua pola yaitu mencoblos semua partai atau mereka membagi pilihan berbeda pada setiap level calon legislatif dari partai yang berbeda. Misalnya untuk memilih caleg DPR RI ia memilih Partai A, untuk caleg DPRD Provinsi memilih dari partai B, dan untuk memilih caleg DPRD kabupaten mereka memilih partai C.

Kelima, pemilih ideologis (ideologic Voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena kecocokan ideologi dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya. Biasanya mereka memilih melalui pertimbangan ideologi yang dianutnya. Pemilih tipe ini ada dua kategori yaitu kategori mereka anggota inti partai politik. Sebagai anggota inti tentu mereka telah melalui proses ideologisasi yang panjang sehingga ketika memilih ia lakukan karena spirit ideologisnya. Kategori kedua adalah mereka masyarakat umum tetapi memiliki pemahaman ideologis yang kuat. Perspektif ideologisnya menuntunnya menentukan pilihan. Keenam, pemilih rasional (rational voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan rasional. Mereka mempelajari berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan dipilihnya. Mereka mempelajari visi, misi dan program program para caleg maupun partai politik. Rasionalitasnya bekerja untuk menentukan pilihan yang tepat baginya. Mereka juga mempelajari track record caleg dan partai politik yang akan ia pilih. Bahkan mereka sampai menyempatkan waktunya untuk menemui caleg mempertanyakan berbagai hal hingga meyakinkan ia untuk memilihnya. Pemilih tipe ini jumlahnya tidak banyak, mereka ada di wilayah perkotaan
Tipologi Caleg
Untuk mengamati tipologi caleg penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologi politik khususnya pada kajian stratifikasi sosial politik dan pendekatan psikologi politik khususnya kajian motivasi berpolitik para calon anggota legislatif. Perspektif stratifikasi sosial (social stratification) meyakini bahwa pembacaan terhadap masyarakat bisa dilakukan dengan pengelompokan masyarakat secara vertikal hirarkis (bertingkat). Pitirim A Sorokin (1959) pernah mengemukakan bahwa social stratification is permanent characteristic of any organized social group. Dengan demikian stratifikasi sosial merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam komunitas partai politik yang menjadi pintu pencalegan. Dalam konteks ini caleg ternyata dapat diklasifikasikan juga sesuai stratifikasinya.

Dengan perspektif stratifikasi ini, caleg pada pemilu 2014 dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu caleg lapisan atas, caleg lapisan tengah dan caleg lapisan bawah. Caleg lapisan atas adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi elit, pengurus elit partai politik dan elit aktivis organisasi quasi politik. Caleg yang masuk kategori ini adalah pengusaha besar, pebisnis sukses, pentolan aktivis dan mereka yang sangat populer. Mereka ini memliki akses ekonomi dan politik yang mudah, termasuk akses ke partai politik. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian atas yaitu nomor urut 1 sampai dengan 3. Caleg lapisan tengah adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah, pengurus organisasi kemasyarakatan tertentu dan aktivis yang tidak terlalu populer. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian tengah yaitu nomor urut 4 sampai nomor urut 6. Sementara caleg lapisan bawah adalah mereka yang secara ekonomi belum mapan bahkan cenderung seperti job seeker (pencari kerja), namun diantara mereka ada yang memiliki idealisme yang kuat. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian bawah yaitu nomor urut 7 sampai nomor urut 10.

Sementara jika menggunakan pendekatan psikologi politik khususnya perspektif motivasi berpolitik (motif pencalegan) maka tipologi caleg pada pemilu 2014 ini dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe yaitu tipe mencari prestise ( prestise type), tipe pedagang (trader type), tipe petualang (adventurer type), tipe pencari perlindungan (protection seeker type), tipe pencari kerja (job seeker type), tipe pejuang (fighter type). Tipe mencari prestise (prestise type) adalah mereka para caleg yang ingin menjadi anggota legislatif karena status simbolik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Kecenderungan mereka yang termasuk tipe ini adalah incumbent, pengusaha besar (konglomerat) dan mereka yang sudah populer seperti artis, dan tokoh nasional dari organisasi yang sangat populer. Tipe pedagang (trader type), adalah mereka yang menjadi caleg dengan kepentingan mencari keuntungan finansial yang lebih besar. Berpolitik bagi mereka seperti perdagangan yang sarat dengan hukum hukum ekonomi. Mereka meyakini dengan modal tertentu dalam pencalegan mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar- besartnya. Mereka ini sudah menghitung kapan waktunya untung dalam berpolitik, sehingga mereka berani memasuki arena politik. Mereka juga berniat menggunakan kedudukan politiknya untuk mengembangkan sayap bisnisnya.

Tipe petualang (adventurer type) adalah mereka yang menjadi caleg karena ingin memanfaatkan beragam peluang dan beragam kepentingan untuk kepentingan pribadinya. Tipe ini juga sering berpindah pindah partai yang penting mendapat nomor urut satu atau nomor urut jadi. Tipe pencari perlindungan (protection seeker type) adalah mereka yang menjadi caleg dengan niat agar ketika menjadi caleg dapat melindungi diri dari beragam kemungkinan tersangkut kasus hukum atau diperkarakan. Mereka yang masuk tipe ini biasanya adalah mantan pejabat yang diduga bermasalah secara hukum atau tidak bermasalah tetapi semacam untuk antisipasi. Tipe pencari kerja (job seeker type) adalah mereka menjadi caleg karena belum memiliki pekerjaan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bahkan diantara mereka ada yang pekerjaanya belum tetap. Mereka berfikir menjadi caleg itu mirip mendaftar pekerjaan. Tipe pejuang (fighter type) adalah mereka yang menjadi caleg karena memiliki keinginan kuat untuk melayani rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Biasanya tipe ini dimiliki oleh para pentolan aktivis yang memahami idealisme perjuangan. Bagaimana persinggungan antara tipologi pemilih dan caleg? Berikut ini tabel yang menggambarkan persingungan tersebut:
Tabel Persinggungan Tipologi Caleg-Tipologi Pemilih dan Peluang Perolehan Suara Pada Pemilu 2014
Tipologi Caleg Tipologi Pemilih Peluang Perolehan Suara Pencari Prestise Subyektif, Pragmatis. Tinggi Pedagang Pragmatis Sedang Petualang Skeptis Rendah Pencari Perlindungan Subyektif, Pragmatis Tinggi Pencari Kerja Pragmatis, skeptis. Sedang Pejuang Ideologis, Rasional Sedang Lapisan Atas Subyektif, Pragmatis Tinggi Lapisan Tengah Rasional, Pragmatis Sedang Lapisan Bawah Skeptis, Ideologis Sedang

Dengan memperhatikan tabel diatas maka kemungkinan caleg yang mendapat suara tinggi dalam pemilu 2014 adalah mereka yang termasuk kategori tipe caleg pencari prerstise, caleg pencari perlindungan, dan caleg lapisan atas. Ini artinya anggota DPR yang terpilih cenderung mereka yang bermodal besar. Ini membenarkan tesis bahwa praktek pemilu ala demokrasi liberal hanya akan menghasilkan dominasi caleg yang bermodal besar tetapi cenderung miskin gagasan dan kurang menempatkan national interest sebagai agenda utama bangsa.
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.

Mewaspadai Rendahnya Partisipasi Pada Pemilu 2014

Mewaspadai Rendahnya Partisipasi Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindonews 13 Maret 2014: http://pemilu.sindonews.com/read/2014/03/12/116/843442/mewaspadai-rendahnya-partisipasi-pada-pemilu-2014

Partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan dalam negara demokrasi. Makin tinggi partisipasi politik warga negara dalam proses politik maka makin besar nilai demokrasi sebuah negara. Sebab partisipasi yang besar seringkali menjadi indikator kuatnya legitimasi politik. Hal utama dalam demokratisasi sebuah negara salah satu prosesnya ditentukan oleh tinggi rendahnya partisipasi politik warga dalam pemilu. Meskipun mengikuti pemilu menurut Philip Althoff & Michael Rush dalam An Introduction to Political Sociology (1971) ketika berbicara tentang hirarki partisipasi menempatkan memilih dalam pemilu atau memberikan suara dalam pemilu sebagai tingkat partisipasi yang paling rendah setelah apati politik.
Trend Partisipasi Semakin Rendah
Meski demikian partisipasi politik rakyat dianggap penting oleh para pelaku demokrasi. Inilah yang memungkinkan penyelenggara demokrasi seperti KPU melakukan tindakan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam pemilu.Tidak sedikit biaya yang digunakan untuk mengajak warga mengikuti pemilu. Dari pembuatan baliho ajakan ikut pemilu sampai kampanye di sejumlah media massa baik online, tv, maupun cetak demi banyaknya partisipasi warga. Masalahnya tidaklah mudah mengajak warga datang ke TPS untuk memilih wakilnya duduk di kursi DPR, apalagi ditengah public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara.

Dalam sejarah pemilu Indonesia sejak akhir masa rezim orde baru hingga pemilu 2009 menurut catatan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) trend prartisipasi dalam pemilu mengalami penurunan yang signifikan. Pada pemilu 1997 tingkat partisipasi pemilu mencapai 96,6 %, pada pemilu 1999 mencapai 92,7%, pada pemilu 2004 mencapai 84,1% (legislatif) dan 78,2 % (Pilpres), dan pada pemilu 2009 mencapai 70,99 %(legislatif) dan 71,7 % (pilpres). Data tersebut menunjukan kecenderungan tingkat partisipasi mengalami penurunan secara signifikan dan terus menerus dalam empat kali pemilu. Apakah pemilu 2014 akan mengalami penurunan angka partisipasi. Dengan situasi public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara saat ini, penulis memprediksi akan secara signifikan turut menurunkan angka partisipasi pemilih dalam pemilu 9 April 2014 nanti. Dengan rendahnya tingkat partisipasi secara kualitatif legitimasi politik produk pemilu menjadi rendah, meski tetap dianggap publik dan secara politik sebagai produk politik yang sah.

Antisipasi apa yang mungkin dilakukan ketika partisipasi dalam pemilu rendah mengingat waktu pemilu kian dekat? Dalam konteks ini moratorium iklan pemilu di televisi bukanlah kebijakan yang tepat. Sebab aura publik tentang pemilu perlu terus dikondisikan melalui iklan dibanyak media televisi, tentu dengan aturan yang adil. Meningkatkan angka partisipasi dalam pemilu bukanlah pekerjaan mudah tetapi cukup sulit, sesulit merubah persepsi publik yang sudah distrust terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara. Ini sekaligus menunjukkan besarnya dosa politik rezim dan dosa politik partai politik yang gagal membangun kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara. Praktik korupsi para politisi dan pejabat negara memberi kontribusi besar bagi meluasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan terhadap lembaga negara.
Tingkatkan Partisipasi Dengan Dua Cara
Ada dua solusi penting yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu 2014 selain iklan yang adil di media massa. Pertama, partai partai politik perlu bekerja keras menggerakan mesin politiknya mendekat kepada rakyat sebagai pemilih. Kerja kerja mesin politik partai inilah yang lebih efektif meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu. Bergerak dengan intensitas tinggi menyapa rakyat menuju agenda besar 2014 akan lebih mudah diterima rakyat untuk ikut pemilu dibanding iklan di media. Meski memang diakui ada efek iklan terhadap kemauan rakyat untuk ikut memilih. Tetapi karena ketidakpercayaan yang luar biasa terhadap lembaga politik menyebabkan rakyat memerlukan dialog intensif untuk membuatnya yakin agar ikut pemilu. Bergeraknya mesin politik partai menyapa rakyat membuka ruang dialog intensif yang sedikit banyak akan merubah persepsi rakyat tentang lembaga politik yang kemudian membuatnya ikut memilih dalam pemilu. Kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu terus mengoptimalkan agenda sosialisasi pemilu sampai sebelum 9 april 2014. Tentu komisioner KPU perlu kerja keras bersama relawan demokrasi yang sudah dibentuknya, bukan sekedar memasang balioho pemilu, tidak hanya beriklan di media, tetapi menyatu bersama warga membicarakan hajatan besar pemilu 2014. Jangan pernah ada pikiran KPU untuk mark up persentase angka pemilih.

Jika upaya keras partai politik dan KPU mengajak warga ikut pemilu 2014 sudah dilakukan tetapi kemudian hasilnya tingkat partisipasi politik rakyat juga tetap rendah maka ini adalah lonceng kematian demokrasi liberal yang sudah berusia 15 tahun pasca reformasi 1998 tetapi tidak memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Rendahnya partisipasi adalah bentuk protes rakyat terhadap praktik politik yang berlangsung. Jika rendahnya partisipasi yang terjadi maka infra struktur politik (parpol, dll) perlu berbenah secara mendasar, sekaligus mulai mengagendakan untuk meninjau ulang sistim politik yang sedang berlangsung. Momentum pemilu 2014 adalah momentum penting untuk melanjutkan demokrasi liberal atau sekaligus mengakhiri demokrasi liberal.
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.

Memaknai Kemenangan Politik 2014

Memaknai Kemenangan Politik 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindonews 28 Feb 2014 :http://nasional.sindonews.com/read/2014/02/28/116/839894/memaknai-kemenangan-politik-2014

Menjelang pemilu 9 April 2014, semua partai politik bekerja untuk menggapai kemenangan memperoleh kursi sebanyak banyaknya di DPR. Para calon anggota legislatif (caleg) bekerja dan berkompetisi untuk memperoleh kursi, bahkan team sukses dan para relawan pendukung caleg juga turut bekerja demi kemenangan caleg-nya. Untuk meperoleh kursi di parlemen para caleg semangat bersaing meski harus kompetisi dengan sesama anggota satu partai dan dipastikan ada yang akan berguguran karena jatah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan untuk DPRD tidaklah banyak, sementara yang berebut kursi jumlahnya ratusan. Dimungkinkan juga gesekan sesama anak bangsa terjadi antar caleg dari satu partai maupun antar caleg partai politik yang berbeda.. Kursi yang diperebutkan di DPR RI juga tidaklah banyak hanya 550 kursi, sementara yang berebut kursi jumlahnya ribuan. Artinya akan ada ribuan caleg yang berguguran. Ketika para caleg berguguran, partai politik perlu membuat antisipasi. Kanalisasi ide ide para caleg dan kanalisasi psikologis para caleg yang gagal perlu disiapkan partai politik. Jika tidak, realitas menumpuknya caleg yang gagal ini akan menjadi problem tersendiri bagi partai politik. Bahkan tidak sedikit karena stres yang tinggi akibat kegagalan, mereka harus merasakan ruangan khusus bagi penderita gangguan jiwa. Sebab penulis menemukan situasi psikologis para kompetitor dalam pemilu ini memang penuh tekanan, intrik, sakt hati, dan beban psikologis yang berat lainnya.
Faktor Kemenangan
Tentu tidak ada satupun partai dan caleg yang mau bertarung di arena pemilu dengan tujuan gagal, semuanya mau bertarung dengan target ingin menang. Bahkan hampir tidak sedikit partai yang sama sama ingin menjadi 3 besar pemenang. Karena hasrat ingin menang ini begitu kuat maka telah banyak strategi dilakukan partai politik untuk menggapai kemenangan gemilang. Optimisme dibangun oleh masing masing partai dan ditanamkan kuat kuat pada para caleg nya dengan beragam pertemuan. Ada semacam harapan harapan 'surgawi' dan misi misi 'suci' yang melekat dalam bayang bayang pikiran para caleg.

Persoalanya kemudian tidaklah mudah untuk memperoleh kemenangan. Kemenangan politik membutuhkan persiapan. Kemenangan politik juga memerlukan kerja kerja sistimatis yang panjang. Kemenangan politik juga memerlukan modal sosial yang luas.Kemenangan politik juga membutuhkan modal ekonomi yang tidak sedikit. Sebut saja misalnya temuan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) bahwa para caleg DPR RI yang ada di Jakarta mengeluarkan biaya antara 200 juta sampai 1,5 Milyar. Angka yang tentu saja jika digunakan untuk bisnis disektor perdagangan sudah cukup untuk digunakan dalam memulai sebuah usaha

Dalam politik seringkali kemenangan diperoleh karena 5 faktor. Pertama, faktor popularitas. Faktor popularitas ini dimiliki seseorang bisa karena secara alamiah ia memamng memiliki magnet untuk menjadi populer. Ia telah menyedot perhatian publik dengan sejumlah kelebihan kelebihannya dan sejumlah aktivitasnya yang diterima publik secara luas. Tetapi dalam politik popularitas seseorang juga bisa di design atau direkayasa atau bahkan 'dibeli' dengan sejumlah uang. Tidak sedikit orang ingin populer dengan melakukan berbagai cara. Dalam The Modern Prince Antonio Gramsci (1971) pernah mengingatkan soal haus popularitas ini yang ia sebut sebagai penyakit manusia modern. Kedua, faktor modal ekonomi. Faktor ini juga menjadi salah satu faktor penentu kemenangan. Semakin besar modal ekonomi seseorang maka semakin tinggi peluangnya untuk mendapatkan kemenangan. Karena dengan uang yang banyak ia dengan mudah memenuhi kebutuhan material dirinya dan pemilihnya untuk menggapai kemenangan. Meskipun uang bukanlah segala galanya untuk menang. Ketiga, faktor marketing politik. Keterampilan memasarkan diri dalam politik juga menjadi salah satu faktor penentu kemenangan. Pada faktor ini dibutuhkan keterampilan khusus dan kreatifitas yang tinggi dari seseorang untuk memasarkan dirinya. Semakin terampil dan kreatif memasarkan diri maka seseorang semakin mudah memperoleh kemenangan. Keterampilan dan kreatifitas memasarkan diri ini tidaklah membutuhkan modal besar, ia hanya membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan habitus yang mendukung berkembangnya kreatifitas. Faktanya tidak semua poltisi memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi ini. Keempat, faktor mesin politik. Faktor kemenangan ini dilakukan bukan oleh politisi nya tetapi dilakukan oleh team yang mau bekerja dan memiliki disiplin kerja yang tinggi untuk mencapai kemenangan. Team relawan atau team sukses atau sering juga disebut kader partai adalah mereka yang bekerja secara terorganisir untuk mencapai target kemenangan. Jika sebuah partai atau politisi minim popularitas, minim uang, minim keterampilan marketing politik, tetapi ia memiliki mesin politik yang solid dan gigih, peluang untuk menang ada pada mereka.Kelima, faktor integritas politisi atau partai. Integritas seseorang atau partai saat ini menjadi barang mahal, karena integritas itulah yang membuat seseorang menjadi memiliki idealisme yang kuat sekaligus menjadi pilihan rakyat. Temuan Puspol Indonesia menunjukkan bahwa disejumlah daerah dalam pemilihan kepala desa dimenangkan oleh mereka yang memiliki integritas, bukan dimenangkan oleh mereka yang populer atau yang punya uang banyak.Begitu juga dalam sejumlah pemilihan kepala daerah.
Kemenangan Substantif
Apa yang dinarasikan diatas adalah kemenangan politik dalam arti yang sangat material atau formal struktural. Selain kemenangan formal struktural, ada makna kemenangan politik yang lebih substansial yaitu kemenangan gagasan mewujudkan kehidupan yang baik. Karena kemenangan gagasan inilah yang sebenarnya inti kemenangan politik dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti yang paling klasik. Pemikir politik klasik seperti Plato dan Aristoteles (450 SM) menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Politik itu sesungguhnya untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Pesan penting dari kemenangan gagasan ini adalah, menjadi tidak berarti kemenangan formal struktural jika nihil gagasan. Kemenangan formal struktural juga tidak berarti jika pun ia punya gagasan tetapi gagasan gagasan kebaikannya tidak mampu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang paling real. Lebih hina lagi jika kemenangan formal struktural (mendapatkan kursi parlemen) tetapi ia menghianati gagasannya sendiri, menghianati janji janjinya sendiri, dan menghianati rakyat yang memilihnya.

Ketika kemenangan formal struktural tidak tercapai, bagi politisi yang memahami kemenangan substansial ia tak kan mengalami beban psikologis yang berat, ia tetap akan lapang dada. Karena kemenangan substansial sesungguhnya bisa diperoleh oleh politisi atau para caleg meski ia tak mendapatkan kemenangan formal struktural. Hal ini bisa terjadi jika gagasan gagasan para caleg yang gagal ternyata mampu ditangkap oleh para caleg yang memperoleh kemenangan formal struktural dan mampu direalisasikan. Karenanya kemenangan sesungguhnya bisa dimiliki siapapun. Tetapi kemenangan itu hanya bisa didapat oleh caleg yang memiliki gagasan gagasan besar yang pro terhadap kepentingan rakyat banyak dan sekaligus pro terhadap kepentingan nasional. Selamat mendapat kemenangan substansial!.
Ubedilah Badrun, Pengamat Poloitikl UNJ

<