Tuesday, January 28, 2014

Demokrasi, Media Massa dan Kepentingan Politik: Sebuah Gugatan

Demokrasi Media Massa dan Kepentingan Politik Sebuah Gugatan
Oleh : Ubedilah Badrun
Membaca perkembangan Demokrasi di Indonesia saat ini memunculkan banyak pertanyaan. Diantara pertanyaan tersebut adalah tentang bagaimana demokrasi bisa meyakinkan menjadi jalan terwujudnya kesejahteraan rakyat jika dalam masa demokrasi justru jumlah angka kemiskinan tidak beranjak berkurang? Mengapa ketika ruang demokrasi dibuka lebar justru konflik sosial makin menajam dan variatif? Mengapa dalam demokrasi justru korupsi, terorisme, dan radikalisasi tumbuh subur? Mengapa atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Pertanyaan pertanyaan tersebut tidak semuanya hendak dijawab dalam artikel ini tetapi penulis hendak menggugat pada pertanyaan terakhir tentang atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Dan apakah dengan demikian negara masih disebut Demokrasi?

Sesungguhnya jika kita menelisik lebih dalam tentang kriteria demokrasi, selain kriteria prosedural model Robert Dahl (on democracy, 1989), menempatkan demokrasi sebagai kontinum bisa menjadi alat ukur demokrasi seperti model yang dikemukakan oleh Lary Diamond, Juan Linz dan S martin Lipset (Democracy in Developing Countries,1989). Jika kita menempatkan Demokrasi sebagai kontinum maka setidaknya ada tiga kategori. Pertama, sistem politik dikatakan demokrasi penuh apabila memenuhi kriteria kompetisi, partisipasi dan kebebasan (fully democracy). Kedua, semi demokrasi atau demokrasi terbatas (restricted democracy) diantara cirinya adalah ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan. Selain itu juga bisa dicirikan pada tataran terbatasnya kebebasan sipil dan politik dimana kepentingan dan orientasi politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Ketiga, derajat terendah adalah nondemokrasi yakni ketika rezim tidak memberi kesempatan kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik. Dengan perspektif tersebut penulis menempatkan Indonesia hari ini masuk kategori restricted democracy yakni ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan seperti yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009 lalu. Selain itu kepentingan dan orientasi politik juga tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Kompetisi, partisipasi dan kebebasan menjadi bias. Pada titik inilah gejala restricted democracy itu makin jelas dengan kuatnya hegemoni politik atas media dengan adanya kepemilikan media massa oleh elit strategis partai partai politik.
Posisi Kontinum Media Massa Dalam Demokrasi
Mencermati fakta politik posisi media massa di Indonesia saat ini posisi kontinumnya secara umum tidak lagi sebagai sumber informasi yang independen. Padahal media massa adalah pilar keempat dalam demokrasi. Rakyat bisa mengontrol jalannya pemerintahan melalui media massa. Peran yang dimainkan media massa adalah menjadi  social control dan pressure groups, dengan demikian posisinya sebagai penyeimbang kekuasaan negara. Namun, idealisme media itu kini terkikis oleh hegemoni kepentingan dan bahkan hegemoni politik. Benar bahwa media massa sejak keberadaanya sudah dipengaruhi oleh kepentingan ideologi, kepentingan bisnis, kepentingan pribadi dan bahkan kepentingan politik. Problemnya adalah ketika begitu hegemoniknya partai politik di Indonesia menguasai media massa karena pemilik media massa adalah juga pengurus inti partai politik bahkan ketua partai atau ketua dewan Pembina partai. Hal ini bisa dicermati pada media massa TV dan media massa Koran. Pada posisi inilah yang kemudian menjadikan peran kontrol media menjadi bias. Dengan demikian kualitas demokrasi juga menjadi rendah karena faktor penyeimbang keuasaan negara atau salah satu pilar penting demokrasi telah rapuh digerogoti kepentingan politik secara subyektif dan besar besaran.

Pertanyaan rasional yang muncul dari posisi kontinum media massa yang dihegemoni itu adalah apa akibat rasional dari fenomena hegemoni politik terhadap media massa secara besar besaran tersebut? Tentu saja kepentingan pemilik modal yang sekaligus politisi lebih diakomodasi. Sementara, aspirasi rakyat banyak tidak dapat tersalurkan sepenuhnya. Sumber berita yang pro terhadap pemilik modal media massa tersebut lebih banyak diberi porsi sementara kelompok masyarakat lainya yang juga membutuhkan advokasi media ditempatkan secara minimalis. Persoalan kemudian yang muncul adalah jika kebenaran sesungguhnya adalah ada pada kelompok yang tidak pro terhadap partai pemilik media massa maka media massa tersebut tidak melakukan advokasi terhadap kebenaran. Ini artinya kebenaran informasi telah ditelikung oleh hegemoni politik terhadap media massa. Rakyat banyak yang juga memiliki hak memperoleh informasi yang benar pada giliranya menjadi dibohongi oleh media. Fakta relasi politik dan media seperti tersebut bisa dibayangkan betapa rusaknya demokrasi jika hampir semua petinggi partai politik memilki media massa secara bebas.
Lalu Dimana Posisi Media Massa
Undang Undanag No 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas mengatakan bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Semangat dibalik undang-undang tersebut adalah agar politik berjalan secara netral. Pengalaman kelam masa orde baru yang diktator menjadi catatan buruk keterlibatan tentara dalam politik dimana tentara memiliki kursi di parlemen secara cuma-cuma dan bahkan hampir semua bupati dan gubernur berlatar belakang tentara aktif. Para analis sering mengatakan berbahaya jika yang punya senjata menjadi penguasa politik. Menurut hemat penulis kepemilikan media massa oleh petinggi partai politik secara substansial sama berbahayanya dengan tentara yang berkuasa secara politik.

Selain TNI, PNS juga pasca reformasi dilarang berpolitik dan dilarang menjadi anggota partai. Undang- Undang yang melarang PNS berpolitik dan menjadi anggota partai politik adalah UU nomor 10 Th. 2008 Tentang Pemilu. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa Pegawai Negeri termasuk PNS sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat.Semangat dibalik larangan tersebut adalah netralitas. Bahwa pegawai negara atau PNS ada untuk melayani rakyat banyak, maka ketika PNS berpolitik bisa mengganggu jalanya tugas tugas negara karena intervensi politik. Hal ini juga berdasarkan pengalaman masa lalu pada masa orde lama (1950-1965) bahwa jatuh bangunnya kabinet berdampak besar pada stabilitas kepegawaian. Juga terjadi pada masa orde baru (1966-1997), PNS dijadikan alat politik utk mempertahankan ke kuasaan. Penguasaan media massa oleh petinggi partai secara besar-besaran yang terjadi saat ini sama juga bahayanya seperti PNS yang dijadikan alat oleh penguasa masa lalu.

Dua fenomena kelam masa lalu yang mengaitkan TNI dan PNS dalam arena politik telah merendahkan kualitas demokrasi secara tajam dan mengerikan. Oleh karena itu media massa seharusnya diposisikan secara netral sama dengan TNI dan PNS. Dalam konteks demi kepentingan kualitas demokrasi itulah sudah saatnya ada undang-undang baru tentang kepemilikan media massa. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka ada kemungkinan masa depan kualitas demokrasi di Indonesia makin suram bahkan membahayakan sebagaimana yang diungkap Robert Kaplan dalam The Coming Anarchy (1994) ketika menemukan fakta bahwa demokrasi tidak menyelamatkan bangsa Afrika. Mungkin Indonesia adalah fakta berikutnya akibat kekerasan subyektif media massa atas kebenaran dan ketidakberpihakanya pada keluhuran politik.
Ubedilah Badrun, Direktur Pusat Studi Sosial Politik (PUSPOL) Indonesia, dan pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<