Monday, December 26, 2005

Quo Vadis Indonesia

Quo Vadis Indonesia?
Sebuah catatan kecil untuk generasi muda Islam Indonesia
Oleh Ubedilah Badrun

Saya pernah gelisah tentang bagaimana memposisikan diri saya sebagai muslim dan diri saya sebagai warga negara Indonesia. Namun realitas obyektif Indonesia yang mayoritas ummmat Islam (terbesar di dunia) membuat saya mencintainya. Apalagi Islam mengajarkan pentingnya membela dan mempertahankan wilayah tanah kelahiran dan memiliki tanggungjawab kontribusi atas wilayah atau negara yang dibentuknya. Selain itu secara historis Republik Indonesia juga lahir dan diperjuangkan oleh para pejuang muslim dan telah syuhada di medan perjuangan. Tokoh-tokoh seperti Diponegoro, Imam Bonjol, H.Agus Salim, Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, Bung Tomo, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, R.A. Kartini, M.Natsir dll adalah fenomena sejarah penting yang langkah-langkahnya bisa dijadikan ibroh. Realitas peran historis dan realitas mayoritas umat Islam terbesar di dunia ini sesungguhnya bisa menjadi tolak ukur percontohan negara muslim dengan penduduk terbesar di dunia. Artinya bangkrut dan bangkitnya Indonesia bisa menjadi parameter negara dengan penduduk mayoritas Islam terbesar di dunia.
Kini setelah belajar dari kesalahan Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1967-1998) yang kedua-duanya telah menjalankan politik otoriterianisme, bangsa Indonesia memasuki babak baru yang penting dalam menentukan masa depannya. Gerakan reformasi telah membawa Indonesia menuju sebuah bangsa yang baru. Amandemen UUD 1945 merupakan perubahan radikal di tingkat konstitusi, sebab selama dua rezim UUD 1945 pernah dijadikan sebagai kitab suci yang tidak boleh dirubah. Pemilu 2004 yang merupakan pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia adalah buah dari prubahan konstitusi itu. Jimmy Carter usai pemilu Indonesia 2004 langsung memberi penilaian. Menurut Carter, rakyat Indonesia telah memberikan contoh dramatis dalam hal perubahan politik yang damai, sekaligus membantah klaim Barat bahwa Muslim sebagai anti-demokrasi. Selain itu, Carter juga memberi catatan penting bahwa Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dilihat dari jumlah penduduknya yang sangat besar dan dari keyakinan agama mayoritas penduduknya, setelah India yang Hindu dan Amerika yang Kristen. "Ini pesan indah yang (harus) diterima orang-orang Amerika," tulis Carter dalam artikelnya yang berjudul Surprisingly Fair Election in Indonesia (International Herald Tribune , 15 Juli 2004).
Lalu, apakah pencapaian identitas sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia diyakini mampu membawa Indonesia menuju negara yang makmur, adil dan sejahtera ? Meski optimisme harus ada tetapi cukup sulit untuk memastikan hal itu. Sebabanya berbagai persoalan masih menghadang Indonesia. Tadinya penulis yakin bahwa satu tahun masa pemerintahan SBY tidak akan ada Bom lagi di Indonesia, lalu lapangan pekerjaan terbuka lebar, kesejahteraan rakyat perlahan meningkat, kegiatan riset tumbuh dengan pesat, nilai tukar rupiah tidak melemah, dan indikator-indikator kemajuan lainya muncul silih berganti. Namun agaknya kita masih harus menarik nafas cukup panjang untuk merenung kembali. Sebab rakyat yang mayoritas muslim itu masih dirundung berbagai persoalan yang dibeberapa bagiannya cenderung menyengsarakan rakyat. Untuk memahami berbagai persoalan bangsa yang masih ada dihadapan mata, ada baiknya saya uraikan beberapa persoalan dalam bentuk data yang perlu menjadi catatan penting di negara yang jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia. Sebetulnya banyak data yang menjadi tantangan besar bangsa Indonesia, tetapi tiga data dibawah ini sudah cukup untuk dijadikan bahan catatan kita sebagai bangsa.

Data Orang Miskin
Meski data orang miskin ini belum tentu memiliki akurasi yang pas, tetapi bisa menjadi catatan bahwa bangsa yang mayoritas penduduknya muslim terbesar di dunia itu sebagian besar penduduknya adalah miskin. Berikut ini beberapa data yang berbeda dikeluarkan lembaga pemerintah tahun 2005 ini. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah orang miskin Indonesia mencapai 36 juta orang. Menurut PT ASKES jumlah orang miskin Indonesia pascakenaikan BBM melambung hingga 54 juta orang. Menurut Sri Mulyani (saat menjabat Meneg PPN/Kepala Bapenas sebelum reshuffle cabinet) jumlah orang msikin Indonesia angkanya telah melambung mendekati 60 juta orang. Jumlah yang sebenarnya bisa lebih dari 60 juta. BBC dalam film dokumenternya The New Rules of The World menyebut jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 70 juta orang.
Data Korupsi
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 5 Desember 2005 lalu mengumumkan hasil surveinya bahwa Indonesia masih menjadi negara yang terburuk dalam hal korupsi. Survei ini didasarkan pendapat pengusaha dan eksekutif asing yang melakukan investasi di Indonesia. Sama seperti survei tahun-tahun sebelumnya, tahun 2005 ini PERC membuat gradasi nilai soal korupsi 0-10. Nol adalah yang terbaik dalam hal bersih korupsi, sementara 10 merupakan nilai terburuk. Berdasarkan survey itu, Indonesia mendapatkan nilai 9,44. Angka ini adalah yang terburuk. Nilai terburuk dalam hal korupsi di Indonesia juga diberikan oleh lembaga Transparency International yang masih menempatkan Indonesia pada papan atas (ke-5) untuk terkorup di dunia.
Dalam hal korupsi ini saya coba megikuti seorang penulis untuk mencari referensi di internet dan search melalui google (“googling”) dengan kata kunci “corruption Indonesia”. Hasilnya? Luar biasa dalam beberapa detik saya benar-benar menemukan lebih dari 90.000 artikel, berita, dokumen, interview dan segala macam bahan lainya yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Lalu saya juga coba “googling” dengan kata kunci bahasa Indonesia dengan memilih kata “korupsi” maka dalam beberapa detik saja saya membuktikan benar pernyataan seorang penulis itu bahwa ditemukan 19.000 bahan tentang korupsi di Indonesia dan di negara berbahasa melayu. Lalu saya hanya berdecak dan mau mengatakan bahwa betapa luar biasa produktifnya orang menulis tentang korupsi di Indonesia . Hal ini menunjukkan bahwa betapa persoalan korupsi Indonesia sangat akut hingga melahirkan banyak tulisan untuk membenahinya. Korupsi yang akut di negeri yang mayoritas muslim terbesar di dunia.
Data Human Development Index Indonesia
Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2005 ini menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Philipines, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapore yang sesama negara ASEAN. Vietnam berada di urutan 108, Philipines urutan ke 84, Thailand urutan ke 73, Malaysia urutan ke 61, Brunei Darussalam urutan ke 33 dan Singapore urutan ke 25. HDI ini diukur dari indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks perekonomian, dan obyek indeks di Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah penduduk muslim terbesar di dunia.(http://hdr.undp.org/ )
Mempertanyakan Indonesia
Data kemiskinan, data korupsi, data human development index Indonesia kalau dibuat grafik dalam 15 tahun terakhir ini akan berbentuk grafik yang abnormal. Garis grafik berada pada posisi menurun secara terus menerus. Padahal seharusnya kalau mengikuti logika liberalisme yang didengungkan negara-negara Barat dengan menggunakan logika bantuan dari negara donor yang tergabung dalam IMF, World Bank, ADB, dan temen-temeannya serta mengikuti logikanya W.W. Rostow, Indonesia di prediksi saat ini seharusnya sudah mencapai tahapan take off atau tinggal landas. Sebuah tahapan yang ditandai oleh tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui pemanfaatan tehnologi industri modern di sejumlah sektor ekonomi dan terjadinya peningkatan investasi yang produktif sampai 10 % dari pendapatan nasional. (The Stages of Economic Growth: A non-communist manifesto, Cambridge University Press, 1960,p.4-16). Namun data obyektif justru menunjukkan bahwa Indonesia tidak tinggal landas tapi justru bener-bener tinggal dilandasan. Dimana trickle down effect yang di dengung-dengungkan Barat melalui pembangunanisme-nya? Bukankah Indonesia sejak 1967 sungguh-sungguh mengikuti pola pembangunan sesuai idiologi liberalisme kapitalisme atau neoliberalisme? Indonesia hari ini berada di persimpangan jalan. Jalan neoliberalisme yang buntu. Mau kemanakah Indonesia?
Menonton film dokumenter The New Rules of The World yang dibuat John Pilger memberikan gambaran cukup menarik tentang Indonesia dibawah bayang-ayang liberalisme kapitalisme industri yang tidak mampu mensejahterakan rakyat. Misi dari film ini hendak mengajak kita untuk kritis terhadap sistim ekonomi yang sekarang ini sedang berjalan. Penulis berharap film ini tidak untuk membawa kita mengikuti idiologi sang reporternya , dimana idiologi sosialisme itu sendiri belum menemukan bentuknya yang real sebagai sebuah negara yang menyejarah (belum ada contoh negara sosialis yang maju dan beradab). Gambaran tentang fenomena buruh dalam film dokumenter yang dibuat John Pilger sebagai tenaga kerja murah di Indonesia yang dieksploitasi demi keuntungan besar kaum kapitalis adalah fenomena obyektif yang memang sedang terjadi di Indonesia. Pengusaha yang notabene adalah kaum kapitalis sangat senang dengan tenaga kerja Indonesia yang murah. Soal kesejahteraan, kesehatan dan keamanan kerja buruh bukanlah hal penting yang harus diperhatikan oleh pengusaha. Perlu diketahui bahwa para buruh pabrik yang dibayar murah itu mayoritas adalah beragama Islam. Ini bagi pengusaha tidak penting. Bagi pengusaha, yang penting adalah bergeraknya roda perusahaan dengan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini yang kemudian menyebabkan terjadinya penumpukan kekayaan. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.. Walhasil persoalan kesejahteraan buruh tidak menjadi agenda penting sang pengusaha. Karenanya aktifis buruh semacam Dita Indah Sari (sebagaimana ditayangkan dalam film dokumenter yang digarap John Pilger) akan terus bermunculan. Mereka bergerak dan sesungguhnya menginginkan ekonomi sosialisme menjadi nyata di Indonesia. Lalu jika dua arus berbeda ini (neoliberalism dan sosilisme) terus berkembang di Indonesia, mau dibawa kemanakah Indonesia?
Disaat yang sama, sejak tujuh tahun terakhir ini intensitas peledakan Bom sangat tinggi dan sangat cepat terjadi dihampir seluruh belahan dunia. Peristiwa bom WTC pada 11 September 2001 di Amerika yang kemudian dibarengi dengan invasi AS ke Afghanistan dan Iraq menandai era baru dunia yang penuh ledakan Bom. Amerika menyebut pelaku ledakan itu adalah kelompok yang menamakan dirinya Al-qaeda dan memiliki jaringan international. Oleh Amerika kelompok ini disebut teroris dan akan dikejar Amerika sampai kapanpun dengan anggaran 40 milyar dollar lebih. Indonesia oleh Lee Kwan Yu dijuluki sebagai sarang Teroris. Cap ini masih belum hilang dalam image masyarakat dunia, sebab Bom kemudian masih terus meledak dimana-mana di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Identitas pelaku adalah seorang muslim , dan karenannya teroris diidentikan Amerika adalah Muslim. Walhasil Indonesia yang kebanjiran Bom hingga saat ini telah menjadi alat pembenaran image atau tuduhan Lee Kwan Yu dan masyarakat dunia tentang sarang teroris di Indonesia. Dalam konteks ini Indonesia yang jumlah penduduknya mayoritas muslim terbesar di dunia menjadi tertuduh. Dalam konteks terorisme ini mau diapakan Indoensia?

Pertarungan Idiologi, dan apa yang bisa dilakukan Komunitas Muda Islam?
Fenomena kemiskinan, ketertinggalan, dan korupsi adalah fenomena yang sangat memprihatinkan umat Islam Indonesia. Disaat yang sama Indoensia sedang menjadi ajang dari pertarungan idiologi antara neoliberalism, sosialisme, dan terorisme. Ketiga idiologi itu menurut hemat penulis terus bekerja mewarnai Indonesia. Lalu jika komunitas muda Islam diam, maka tunggu saja saat kehancuran Indoensia sebagai sebuah bangsa.(penulis perlu meminjam pernyataan gaya anak muda saat ini “hari gini kok diem?!”). Bukankah Allah berfirman dalam surat Al Ra'du ayat 11, yang artinya: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka." Karenanya kerja keras untuk melakukan perubahan adalah pekerjaan dak’wah yang harus tak kenal lelah. Pekerjaan dakwah yang tak kenal lelah ini hanya bisa dilakukan oleh muslim yang unggul. Ada empat keunggulan yang harus dimiliki seorang muslim secara integral untuk membangun bangsa dan mampu berkompetisi, yakni: unggul moral, unggul ilmu, unggul kekayaan, dan unggul kekuasaan. Empat keunggulan ini akan memudahkan seorang muslim untuk berkontribusi di masyarakat. Muslim yang unggul inilah yang pada akhirnya akan memperoleh kemenangan dalam kompetisi dengan idiologi apapun dan dalam situasi apapun di Republik Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas Islam terbesar di dunia.
Keunggulan moral dalah jawaban atas krisis moral yang sedang melanda Indonesia dan dunia saat ini. Komunitas nasional maupun dunia sedang membutuhkan orang-orang yang bermoral, memiliki etika sosial dan etika kekuasaan yang kuat. Keunggulan Ilmu adalah jalan yang akan bisa meningkatkatkan derajat umat dan mampu melahirkan gagasan-gagasan baru yang untuk memberi kontribusi bagi ummat dan bangsa Indonesia. Jalan keunggulan ilmu juga adalah pintu satu-satunya untuk bisa menguasai peradaban. Keunggulan kekayaan adalah keniscayaan untuk membangun izzah umat, memberi kontribusi harta bagi ummat dan bangsa. Keunggulan kekuasaan adalah kemampuan yang tinggi untuk memiliki pengaruh dan wewenang yang kuat untuk melakukan perubahan. Karena wilayah kekuasaan adalah wilayah strategis untuk melakukan perubahan mendasar saat ini dan mendatang. Jika keempat keunggulan itu tidak dimiliki generasi muda Islam, maka jangan harap perubahan besar akan terjadi di Indonesia.!!

Referensi :
Alqur’an
Jimmy Carter, Surprisingly Fair Election in Indonesia, International Herald Tribune , 15 Juli 2004.
John Pilger (film documenter) The New Rules of The World, BBC 2005

Human Development Report – Human Development Index, UNDP, http://hdr.undp.org

W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A non-communist manifesto, Cambridge University Press, 1960,p.4-16.

Monday, December 19, 2005

Sekali Lagi Soal Menempatkan Nurani

Sekali Lagi Soal Menempatkan Nurani
Oleh : Ubedilah Badrun

Sebulan lalu seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis di Tokyo pernah bercerita di sebuah forum dengan penuh keheranan. Teman yang terkenal tulisan-tulisannya yang kritis ini mengamati rombongan Indonesia yang datang ke Jepang dengan jumlah yang sangat banyak, lebih dari seratus orang dengan biaya negara. Teman saya ini mempertanyakan bagaimana bisa negara yang masih dalam kemelut krisis mengirimkan orang sebanyak itu dengan fasilitas yang sangat wah? Pebisnis dan pejabat di Jepang juga penuh keheranan dengan rombongan penting yang amat banyak ini. Pasalnya hal semacam ini tidak pernah dilakukan pemerintah Jepang sepanjang sejarahnya. Bagimana bisa efektif mencapai target diplomasi kalau rombongan sebanyak itu agendanya amat beragam dan cenderung tidak fokus. Sistim pendelegasian wewenang nampak tidak berjalan. Tapi itu tadi, ini rombongan penting dan menggunakan biaya negara. Lalu pada waktu itu ledakan bom meledak kembali di wilayah timur Indonesia justru disaat proses diplomasi sedang berjalan untuk menarik investor Jepang berinvestasi ke Indonesia. Kini apa hasil rombongan penting yang menggunakan biaya negara amat besar itu ? Saya tidak tau hingga saat ini dan mungkin tidak akan pernah tau karena tidak pernah diberitahu oleh negara bagaimana hasil-hasil diplomasi dengan biaya besar itu hingga saat ini?
Lalu beberapa bulan terakhir ini saya membaca berita dari sejumlah media massa dan me- review nya tentang berbagai hal di tanah air. Dari soal senangnya pemerintah karena masyarakat makin adem ayem setelah sebulan lebih kenaikan BBM tidak lagi dikritisi, kemudian soal kenaikan gaji DPR disaat rakyat mengalami penderitaan akibat kenaikan BBM, soal usulan agar PNS kembali boleh berpolitik, soal naiknya anggaran Presiden, soal busung lapar, soal melemahnya nilai tukar rupiah meski pemerintahannya memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih rakyat secara langsung, soal flu burung, soal tragedi bom Bali II yang mengerikan itu, soal kematian karena kelaparan di yahukimo, soal pendataan sidik jari para santri di sejumlah pesantren, soal korban banjir, hingga soal anggota DPR dan para pejabat Departemen yang jalan-jalan ke luar negeri dengan biaya negara atas nama studi banding di penghujung akhir tahun 2005 ini.
Me-review berita tanah air seolah menemukan segudang masalah yang tak kunjung usai. Dalam pendekatan politik, persoalan-persoalan itu muncul lebih banyak diwarnai karena kebijakan maupun perilaku elit politik yang kurang menempatkan rakyat secara tepat dan terhormat. Ketidak tepatan menempatkan rakyat secara terhormat ini berdampak pada kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Hanya satu sebabnya, elit politik kita tidak menghadirkan sedikti saja nurani yang masih dimilikinya. Dalam konteks itu, pertanyaan-pertanyaan kritis masih laik untuk dimunculkan di penghujung akhir tahun 2005 ini. Dimana nurani ditempatkan ketika naiknya harga BBM membuat pasangan Idup dan Silih makan dua hari sekali (Kompas, 12 Oktober 2005) ? dan dimana nurani ditempatkan ketika naiknya BBM membuat putri Ibu Darsih yang berumur 10 bulan hanya memakan bubur nasi putih sepanjang hari (Riau Pos, 23 Oktober 2005). Dimana nurani ditempatkan ketika anggaran kepresidenan naik disaat orang-orang seperti pasangan Idup, Silih dan Darsih makin banyak jumlahnya? Dimana nurani ditempatkan ketika gaji DPR naik disaat penderitaan rakyat makin terlihat secara kasat mata? Dimana nurani ditempatkan ketika rombongan DPR dan para pejabat Departemen jalan-jalan ke luar negeri dengan menggunakan uang rakyat justru disaat air mata menetes di atas nasi putih yang tak berlauk sepanjang hari? Rumusan-rumusan rasionalitas nampaknya seringkali mengalahkan getar nurani elit politik(Presiden,Wapres, Menteri, DPR, dst). Dalam konteks ini elit politik kita nampaknya perlu kembali melakukan introspeksi, kembali belajar memahami EQ dipenghujung akhir tahun 2005 ini.
Menempatkan Nurani dan Memposisikan Rasionalitas : Kembali Belajar memahami EQ
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Apa yang membuat diri kita begitu hebat di mata hati orang lain? Data empiris menunjukkan bahwa hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati nurani. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Ada komentar rasional yang menunjukkan pentingnya hati dan lebih sedikit menyindir para pengagum IQ (baca-rasionalitas semata), yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence menyatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosional-lah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Jiwa yang menggerakan ini bagi penulis adalah hati nurani manusia.
Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun kita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan, kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Robert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Beberapa pandangan diatas semoga saja bisa menjadi permenungan para elit politik untuk kembali menempatkan nuraninya dalam berperilaku maupun dalam menentukan kebijakan publik.
Pesan Dari Negeri Sakura
Sebagai catatan akhir, ada informasi menarik dari negeri sakura yang menurut hemat penulis merupakan peristiwa dimana nurani sudah menjadi milik kolektif dalam sebuah institusi besar. Seminggu yang lalu media massa nasional Jepang memberitakan tentang tewasnya seorang kakek-kakek berumur 80 tahun karena keracunan gas monoksida yang keluar dari heater (pemanas) di rumahnya. Lalu perusahaan pembuat heater (Matsushita-Panasonic) secara terbuka kepada masyarakat Jepang (khsusunya para korban) meminta maaf dan menarik produk heaternya yang dibuatnya pada tahun 1980-an. Menurut peraturan di Jepang sebetulnya produk tersebut sudah bukan tanggungjawab Matsushita lagi karena sudah lebih dari 10 tahun. Tetapi Matsushita sebagai perusahaan pembuat heater tersebut langsung menginformasikan bahwa akan mengganti dengan uang 50.000 yen utk setiap heater dan memperbaikinya secara gratis bagi para pemilik heater tersebut. Untuk itu Matsushita telah menyiapkan dana sebesar 20 milyar yen. Sikap ini dilakukan tanpa menunggu munculnya demonstrasi.
Peristiwa ini hanya terjadi beberapa hari setelah kematian seorang kakek-kakek yang berumur 80 tahun itu. Sebuah kesadaran nurani yang melekat secara institusional pada sebuah lembaga. Nurani nampaknya sudah menjadi milik lembaga dan menjadi dasar watak perusahaan. Lalu apa yang terjadi saat ini? Luar biasa, kepercayaan public (public trust) semakin tinggi terhadap Matsushita. Dari peristiwa ini penulis hendak mengambil pelajaran bahwa menempatkan nurani untuk memperbaiki public distrust yang sudah parah di republik ini adalah amat penting, dan tidak susah untuk memulainya. Bukankah tidak sulit untuk membuat kebijakan sesuai nurani ? Bukankah hati nurani ada di dada mu wahai para pemimpin negeri? Ia tidak jauh !

<