Sekali Lagi Soal Menempatkan Nurani
Sekali Lagi Soal Menempatkan Nurani
Oleh : Ubedilah Badrun
Sebulan lalu seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis di Tokyo pernah bercerita di sebuah forum dengan penuh keheranan. Teman yang terkenal tulisan-tulisannya yang kritis ini mengamati rombongan Indonesia yang datang ke Jepang dengan jumlah yang sangat banyak, lebih dari seratus orang dengan biaya negara. Teman saya ini mempertanyakan bagaimana bisa negara yang masih dalam kemelut krisis mengirimkan orang sebanyak itu dengan fasilitas yang sangat wah? Pebisnis dan pejabat di Jepang juga penuh keheranan dengan rombongan penting yang amat banyak ini. Pasalnya hal semacam ini tidak pernah dilakukan pemerintah Jepang sepanjang sejarahnya. Bagimana bisa efektif mencapai target diplomasi kalau rombongan sebanyak itu agendanya amat beragam dan cenderung tidak fokus. Sistim pendelegasian wewenang nampak tidak berjalan. Tapi itu tadi, ini rombongan penting dan menggunakan biaya negara. Lalu pada waktu itu ledakan bom meledak kembali di wilayah timur Indonesia justru disaat proses diplomasi sedang berjalan untuk menarik investor Jepang berinvestasi ke Indonesia. Kini apa hasil rombongan penting yang menggunakan biaya negara amat besar itu ? Saya tidak tau hingga saat ini dan mungkin tidak akan pernah tau karena tidak pernah diberitahu oleh negara bagaimana hasil-hasil diplomasi dengan biaya besar itu hingga saat ini?
Lalu beberapa bulan terakhir ini saya membaca berita dari sejumlah media massa dan me- review nya tentang berbagai hal di tanah air. Dari soal senangnya pemerintah karena masyarakat makin adem ayem setelah sebulan lebih kenaikan BBM tidak lagi dikritisi, kemudian soal kenaikan gaji DPR disaat rakyat mengalami penderitaan akibat kenaikan BBM, soal usulan agar PNS kembali boleh berpolitik, soal naiknya anggaran Presiden, soal busung lapar, soal melemahnya nilai tukar rupiah meski pemerintahannya memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih rakyat secara langsung, soal flu burung, soal tragedi bom Bali II yang mengerikan itu, soal kematian karena kelaparan di yahukimo, soal pendataan sidik jari para santri di sejumlah pesantren, soal korban banjir, hingga soal anggota DPR dan para pejabat Departemen yang jalan-jalan ke luar negeri dengan biaya negara atas nama studi banding di penghujung akhir tahun 2005 ini.
Me-review berita tanah air seolah menemukan segudang masalah yang tak kunjung usai. Dalam pendekatan politik, persoalan-persoalan itu muncul lebih banyak diwarnai karena kebijakan maupun perilaku elit politik yang kurang menempatkan rakyat secara tepat dan terhormat. Ketidak tepatan menempatkan rakyat secara terhormat ini berdampak pada kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Hanya satu sebabnya, elit politik kita tidak menghadirkan sedikti saja nurani yang masih dimilikinya. Dalam konteks itu, pertanyaan-pertanyaan kritis masih laik untuk dimunculkan di penghujung akhir tahun 2005 ini. Dimana nurani ditempatkan ketika naiknya harga BBM membuat pasangan Idup dan Silih makan dua hari sekali (Kompas, 12 Oktober 2005) ? dan dimana nurani ditempatkan ketika naiknya BBM membuat putri Ibu Darsih yang berumur 10 bulan hanya memakan bubur nasi putih sepanjang hari (Riau Pos, 23 Oktober 2005). Dimana nurani ditempatkan ketika anggaran kepresidenan naik disaat orang-orang seperti pasangan Idup, Silih dan Darsih makin banyak jumlahnya? Dimana nurani ditempatkan ketika gaji DPR naik disaat penderitaan rakyat makin terlihat secara kasat mata? Dimana nurani ditempatkan ketika rombongan DPR dan para pejabat Departemen jalan-jalan ke luar negeri dengan menggunakan uang rakyat justru disaat air mata menetes di atas nasi putih yang tak berlauk sepanjang hari? Rumusan-rumusan rasionalitas nampaknya seringkali mengalahkan getar nurani elit politik(Presiden,Wapres, Menteri, DPR, dst). Dalam konteks ini elit politik kita nampaknya perlu kembali melakukan introspeksi, kembali belajar memahami EQ dipenghujung akhir tahun 2005 ini.
Menempatkan Nurani dan Memposisikan Rasionalitas : Kembali Belajar memahami EQ
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Apa yang membuat diri kita begitu hebat di mata hati orang lain? Data empiris menunjukkan bahwa hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati nurani. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Ada komentar rasional yang menunjukkan pentingnya hati dan lebih sedikit menyindir para pengagum IQ (baca-rasionalitas semata), yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence menyatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosional-lah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Jiwa yang menggerakan ini bagi penulis adalah hati nurani manusia.
Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun kita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan, kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Robert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Beberapa pandangan diatas semoga saja bisa menjadi permenungan para elit politik untuk kembali menempatkan nuraninya dalam berperilaku maupun dalam menentukan kebijakan publik.
Pesan Dari Negeri Sakura
Sebagai catatan akhir, ada informasi menarik dari negeri sakura yang menurut hemat penulis merupakan peristiwa dimana nurani sudah menjadi milik kolektif dalam sebuah institusi besar. Seminggu yang lalu media massa nasional Jepang memberitakan tentang tewasnya seorang kakek-kakek berumur 80 tahun karena keracunan gas monoksida yang keluar dari heater (pemanas) di rumahnya. Lalu perusahaan pembuat heater (Matsushita-Panasonic) secara terbuka kepada masyarakat Jepang (khsusunya para korban) meminta maaf dan menarik produk heaternya yang dibuatnya pada tahun 1980-an. Menurut peraturan di Jepang sebetulnya produk tersebut sudah bukan tanggungjawab Matsushita lagi karena sudah lebih dari 10 tahun. Tetapi Matsushita sebagai perusahaan pembuat heater tersebut langsung menginformasikan bahwa akan mengganti dengan uang 50.000 yen utk setiap heater dan memperbaikinya secara gratis bagi para pemilik heater tersebut. Untuk itu Matsushita telah menyiapkan dana sebesar 20 milyar yen. Sikap ini dilakukan tanpa menunggu munculnya demonstrasi.
Peristiwa ini hanya terjadi beberapa hari setelah kematian seorang kakek-kakek yang berumur 80 tahun itu. Sebuah kesadaran nurani yang melekat secara institusional pada sebuah lembaga. Nurani nampaknya sudah menjadi milik lembaga dan menjadi dasar watak perusahaan. Lalu apa yang terjadi saat ini? Luar biasa, kepercayaan public (public trust) semakin tinggi terhadap Matsushita. Dari peristiwa ini penulis hendak mengambil pelajaran bahwa menempatkan nurani untuk memperbaiki public distrust yang sudah parah di republik ini adalah amat penting, dan tidak susah untuk memulainya. Bukankah tidak sulit untuk membuat kebijakan sesuai nurani ? Bukankah hati nurani ada di dada mu wahai para pemimpin negeri? Ia tidak jauh !
Oleh : Ubedilah Badrun
Sebulan lalu seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis di Tokyo pernah bercerita di sebuah forum dengan penuh keheranan. Teman yang terkenal tulisan-tulisannya yang kritis ini mengamati rombongan Indonesia yang datang ke Jepang dengan jumlah yang sangat banyak, lebih dari seratus orang dengan biaya negara. Teman saya ini mempertanyakan bagaimana bisa negara yang masih dalam kemelut krisis mengirimkan orang sebanyak itu dengan fasilitas yang sangat wah? Pebisnis dan pejabat di Jepang juga penuh keheranan dengan rombongan penting yang amat banyak ini. Pasalnya hal semacam ini tidak pernah dilakukan pemerintah Jepang sepanjang sejarahnya. Bagimana bisa efektif mencapai target diplomasi kalau rombongan sebanyak itu agendanya amat beragam dan cenderung tidak fokus. Sistim pendelegasian wewenang nampak tidak berjalan. Tapi itu tadi, ini rombongan penting dan menggunakan biaya negara. Lalu pada waktu itu ledakan bom meledak kembali di wilayah timur Indonesia justru disaat proses diplomasi sedang berjalan untuk menarik investor Jepang berinvestasi ke Indonesia. Kini apa hasil rombongan penting yang menggunakan biaya negara amat besar itu ? Saya tidak tau hingga saat ini dan mungkin tidak akan pernah tau karena tidak pernah diberitahu oleh negara bagaimana hasil-hasil diplomasi dengan biaya besar itu hingga saat ini?
Lalu beberapa bulan terakhir ini saya membaca berita dari sejumlah media massa dan me- review nya tentang berbagai hal di tanah air. Dari soal senangnya pemerintah karena masyarakat makin adem ayem setelah sebulan lebih kenaikan BBM tidak lagi dikritisi, kemudian soal kenaikan gaji DPR disaat rakyat mengalami penderitaan akibat kenaikan BBM, soal usulan agar PNS kembali boleh berpolitik, soal naiknya anggaran Presiden, soal busung lapar, soal melemahnya nilai tukar rupiah meski pemerintahannya memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih rakyat secara langsung, soal flu burung, soal tragedi bom Bali II yang mengerikan itu, soal kematian karena kelaparan di yahukimo, soal pendataan sidik jari para santri di sejumlah pesantren, soal korban banjir, hingga soal anggota DPR dan para pejabat Departemen yang jalan-jalan ke luar negeri dengan biaya negara atas nama studi banding di penghujung akhir tahun 2005 ini.
Me-review berita tanah air seolah menemukan segudang masalah yang tak kunjung usai. Dalam pendekatan politik, persoalan-persoalan itu muncul lebih banyak diwarnai karena kebijakan maupun perilaku elit politik yang kurang menempatkan rakyat secara tepat dan terhormat. Ketidak tepatan menempatkan rakyat secara terhormat ini berdampak pada kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Hanya satu sebabnya, elit politik kita tidak menghadirkan sedikti saja nurani yang masih dimilikinya. Dalam konteks itu, pertanyaan-pertanyaan kritis masih laik untuk dimunculkan di penghujung akhir tahun 2005 ini. Dimana nurani ditempatkan ketika naiknya harga BBM membuat pasangan Idup dan Silih makan dua hari sekali (Kompas, 12 Oktober 2005) ? dan dimana nurani ditempatkan ketika naiknya BBM membuat putri Ibu Darsih yang berumur 10 bulan hanya memakan bubur nasi putih sepanjang hari (Riau Pos, 23 Oktober 2005). Dimana nurani ditempatkan ketika anggaran kepresidenan naik disaat orang-orang seperti pasangan Idup, Silih dan Darsih makin banyak jumlahnya? Dimana nurani ditempatkan ketika gaji DPR naik disaat penderitaan rakyat makin terlihat secara kasat mata? Dimana nurani ditempatkan ketika rombongan DPR dan para pejabat Departemen jalan-jalan ke luar negeri dengan menggunakan uang rakyat justru disaat air mata menetes di atas nasi putih yang tak berlauk sepanjang hari? Rumusan-rumusan rasionalitas nampaknya seringkali mengalahkan getar nurani elit politik(Presiden,Wapres, Menteri, DPR, dst). Dalam konteks ini elit politik kita nampaknya perlu kembali melakukan introspeksi, kembali belajar memahami EQ dipenghujung akhir tahun 2005 ini.
Menempatkan Nurani dan Memposisikan Rasionalitas : Kembali Belajar memahami EQ
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Apa yang membuat diri kita begitu hebat di mata hati orang lain? Data empiris menunjukkan bahwa hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati nurani. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Ada komentar rasional yang menunjukkan pentingnya hati dan lebih sedikit menyindir para pengagum IQ (baca-rasionalitas semata), yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence menyatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosional-lah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Jiwa yang menggerakan ini bagi penulis adalah hati nurani manusia.
Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun kita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan, kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Robert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
Beberapa pandangan diatas semoga saja bisa menjadi permenungan para elit politik untuk kembali menempatkan nuraninya dalam berperilaku maupun dalam menentukan kebijakan publik.
Pesan Dari Negeri Sakura
Sebagai catatan akhir, ada informasi menarik dari negeri sakura yang menurut hemat penulis merupakan peristiwa dimana nurani sudah menjadi milik kolektif dalam sebuah institusi besar. Seminggu yang lalu media massa nasional Jepang memberitakan tentang tewasnya seorang kakek-kakek berumur 80 tahun karena keracunan gas monoksida yang keluar dari heater (pemanas) di rumahnya. Lalu perusahaan pembuat heater (Matsushita-Panasonic) secara terbuka kepada masyarakat Jepang (khsusunya para korban) meminta maaf dan menarik produk heaternya yang dibuatnya pada tahun 1980-an. Menurut peraturan di Jepang sebetulnya produk tersebut sudah bukan tanggungjawab Matsushita lagi karena sudah lebih dari 10 tahun. Tetapi Matsushita sebagai perusahaan pembuat heater tersebut langsung menginformasikan bahwa akan mengganti dengan uang 50.000 yen utk setiap heater dan memperbaikinya secara gratis bagi para pemilik heater tersebut. Untuk itu Matsushita telah menyiapkan dana sebesar 20 milyar yen. Sikap ini dilakukan tanpa menunggu munculnya demonstrasi.
Peristiwa ini hanya terjadi beberapa hari setelah kematian seorang kakek-kakek yang berumur 80 tahun itu. Sebuah kesadaran nurani yang melekat secara institusional pada sebuah lembaga. Nurani nampaknya sudah menjadi milik lembaga dan menjadi dasar watak perusahaan. Lalu apa yang terjadi saat ini? Luar biasa, kepercayaan public (public trust) semakin tinggi terhadap Matsushita. Dari peristiwa ini penulis hendak mengambil pelajaran bahwa menempatkan nurani untuk memperbaiki public distrust yang sudah parah di republik ini adalah amat penting, dan tidak susah untuk memulainya. Bukankah tidak sulit untuk membuat kebijakan sesuai nurani ? Bukankah hati nurani ada di dada mu wahai para pemimpin negeri? Ia tidak jauh !
1 Comments:
Berbicara mengenai pemerintahan SBY-JK, banyak sekali promblem yang terjadi ditingkat nasional. baik itu masalah bencana alam tsunami di Aceh, Lumpur Lapindo di Sidoarjo,dll, maupun masalah penindasan kaum buruh tani dan KMK (Kaum Miskin Kota). Ataupun permasalahan moral bangsa Indonesia. Sekarang mari kita buka bola mata kita untuk melihat keadaan ekonomi politik kebelakang, maksudnya orde lama Presiden Soekarno yang memiliki sikap Nasionalismenya yang terkenal dengan Tri Panjinya. Ketegasan yang dimiliki Soekarno sangat berpihak pada bangsa Indonesia tanpa memandang bulu. Namun sejarah hanyalah tinggal sejarah yang berupa dongeng yang dibuat oleh Soeharto, dan sekarang masih tetap dilaksanakan oleh antek-anteknya. Untuk saat ini saya dengan kesedihan bangsa Indonesia mari kita berfikir kedepan secara cerdas,cermat dan matang untuk memikirkan ekonomi politik Indonesia kedepan.
Menurut saya solusi yang terbaik untuk ekonomi politik kedepan yaitu :
1. mari kita revisi kembali UU PMA yang tidak berpihak pada kesejahteraan Kaum Buruh Tani maupun KMK.
2. mari kita tolak revisi UU No.13 Tahun 2003 yang tidak berpihak pada rakyat.
3. hilangkan sistem feodal londo sseperti WTS (Wan, Tengku, Said) di Riau ataupun segala macam bentuk feodal diberbagai daerah.
4. dan masih banyak lagi hal-hal revisi orde lama yang dilakukan oleh Soeharto beserta antek-anteknya yang perlu kita ketahui.
Hanya ini yang dapat saya sampaikan demi perjuangan Revulusi kami. A Luta Continua.... Revolusi atau mati....!!!
Post a Comment
<< Home