Tuesday, September 20, 2005

Tamat VS Lulus

TAMAT vs LULUS ?
Sebuah Catatan Untuk Dunia PendidikanKita
oleh : Ubedilah Badrun


“ Diperkirakan 4 -15 Persen Peserta Ujian Nasional tidak lulus !!” (Kompas, 22 Februari,2003) Berita ini bagi sebagian kalangan tidak begitu mengagetkan, tetapi cukup membuat risau disebagian kalangan yang lain. Terlepas dari adanya kalangan yang kaget maupun yang tidak, menurut hemat penulis, dunia pendidikan kembali mengghadapi masalah. Setidaknya, model Ujian Akhir Nasional yang nanti Mei 2003 ini akan diterapkan telah membongkar salah satu topeng dunia pendidikan, yakni topeng atas nama mutu pendidikan.
Ada apa dengan mutu pendidikan kita ? Hasil Ujian Akhir Nasional tahun lalu menurut laporan Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana di kutip Kompas menunjukkan bahwa angka mati pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SLTP mencapai 14 persen dari total peserta. Sementara jumlah peserta yang mendapat angka mati untuk pelajaran matematika berkisar 7-10 persen, dan untuk pelajaran Bahasa Indonesia sekitar 4 persen. Di tingkat SMU, jumlah siswa yang mendapat angka mati untuk pelajaran Bahasa Inggris berkisar 5-15 persen, Matematika 6-10 persen, dan Bahasa Indonesia 5 persen. Dengan demikian kisaran prosentase siswa yang mendapat angka mati mencapai 4-15 persen dari total peserta. Inilah potret out put SLTP dan SMU pada Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun lalu. Bagaimana dengan UAN tahun ini ? Jika kisaran perolehan angka mati prosentasenya masih sama, maka dengan standar kelulusan yang baru, diperkirakan 4-15 persen peserta UAN tahun ini dinyatakan tidak lulus. Sebab untuk bisa dinyatakan lulus, rata-rata nilai UAN seorang siswa harus mencapai angka enam, dan tidak ada angka mati yaitu angka tiga atau lebih rendah.
Dengan kategori kelulusan seperti ini sangat dimungkinkan siswa yang tidak lulus justru melebihi 15 persen. Darimana datangnya perkiraan ini ? Nampaknya standarisasi kelulusan ini melupakan realitas sosiologis masyarakat Indonesia saat ini, yakni realitas masyarakat yang diwarnai dengan kecamuk social dan krisis ekonomi nasional yang masih belum sembuh . Anak-anak yang hidup di daerah konflik, seperti Aceh, Maluku, Poso, dan sebagainya pada dua tahun terakhir ini tidak mendapatkan suasana yang nyaman untuk belajar. Mereka harus mengungsi atau berpindah-pindah untuk bisa mengikuti proses belajar mengajar. Sementara anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan juga prosentasenya makin meningkat akibat krisis ekonomi nasional yang masih belum sembuh. Pada giliranya realitas social dan ekonomi yang mereka hadapi telah mengganggu proses belajar mereka. Dan siswa yang mengalami trauma sosiologis seperti ini jumlahnya tidak sedikit yang tahun ini akan mengikuti UAN. Mungkinkah realitas tersebut bisa berpengaruh pada prosentase kelulusan peserta UAN ? It’s possible man?!
Sementara, tentang niat baik pemerintah (Dirjen Dik Das Men Dik Nas : Indra Djati Sidi) yang mengatakan bahwa “ sekarang kami tidak mau main-main lagi dengan standar pendidikan untuk menentukan kelulusan siswa demi mutu pendidikan nasional?” (Kompas, 22 Feb 2003), ini menunjukkan niat yang cukup baik untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan. Dan, memang harus tidak main-main !!!. (Emangnya selama ini main main yahhhh? Pantesan banyak yang enggak beres ). Tapi…mengapa harus Diknas yang menentukan kelulusan siswa?
Mengapa kata “Tidak Lulus” itu harus dari pusat ?
Pertanyaan itu sengaja dimunculkan sebagai salah satu catatan untuk dunia pendidikan kita. “Ya, mengapa kata “tidak lulus” atau tepatnya “kelulusan siswa” harus ditetapkan oleh Departemen pendidikan nasional ?“. Hal ini bisa dicermati dari psal 3 Surat Keputusan Mendiknas Nomor 017/U/2003 pada point C yang menyatakan bahwa “Ujian Nasional berfungsi sebagai bahan untuk menentukan kelulusan siswa”. Nampaknya sentralisasi pendidikan sesungguhnya masih nampak..
Logika diatas sesungguhnya bertentangan dengan logika otonomi pendidikan yang dicanangkan pemerintah sendiri. Dimana otonomi pendidikan meniscayakan terbuka lebarnya kemungkinan sekolah untuk mengelola dan menentukan banyak hal, termasuk didalamnya tentang kelulusan siswa.. Selain itu, bukankah yang mengetahui banyak tentang siswa di suatu sekolah adalah sekolah itu sendiri? Karena itu sesungguhnya menjadi amat rasional jika Sekolah lah yang sesungguhnya berhak menentukan kelulusan seorang siswa. Pemerintah tidak perlu khawatir kalau seandaunya sekolah yang memutuskan tentang kelulusan siswa.
Lalu apakah dengan otoritas kelulusan yang dipegang sekolah itu sama artinya dengan meniadakan UAN tahun ini ? Tidak, sama sekali tidak! UAN tahun ini tetap saja berjalan. Namun, ada yang perlu menjadi catatan untuk UAN tahun ini bahwa dalam hasil akhir UAN tidak perlu menjadi alat untuk menentukan kelulusan siswa. Hasil UAN biarkan apa adanya, memang itulah out put pendidikan yang selama ini berjalan. Toh, bukankah UAN itu seharusnya hanya berfungsi untuk mengetahui hasil proses belajar mengajar tiap akhir tahun ? Bukan untuk meluluskan dan tidak meluluskan siswa. Kalau memang hasilnya angka mati yaa.. memang itulah hasil akhirnya. Jangan di justifikasi bahwa siswa yang mendapat angka mati dinyatakan tidak lulus. Biarkan sekolah saja yang menentukan kelulusan siswa. Tentu dengan criteria-kriteria kelulusan yang bias dipertanggungjawabkan secara akademik. Misalnya dengan melihat nilai akhir, dan sebagainya, termasuk mempertimbangkan kepribadian siswa bersangkutan.
Persoalan lain yang juga perlu menjadi catatan adalah mengenai siswa yang tidak lulus. Jika seorang siswa dinyatakan tidak lulus, itu artinya tahun berikutnya dia harus mengulang untuk UAN. Tetapi perlu diketahui bahwa untuk Ujian ulang seorang siswa harus berapa bulan menunggu masa untuk ujian ulang? Masa menunggu justru bisa berbahaya buat siswa yang sudah dinyatakan tidak lulus. Ada efek psikologis yang patut diperhitungkan. Dan menjadi berbahaya bagi perkembangan jiwa anak usia SLTP dan SMU yang memang masih cukup labil. Apalagi jika pada Ujian ulang hasilnya juga tidak menggembirakan, atau bahkan lebih rendah dari hasil UAN yang pertama. Bukankah ini akan lebih membahayakan siswa ?. Dan ini artinya siswa dirugikan secara psikologis dan umur siswa pun kian bertambah bukan? Berarti ada waktu yang terbuang hanya untuk menunggu Ujian ulang. Tetapi jika rentang waktu menunggu UAN ulang nya tidak lama, misalnya hanya beberapa minggu setelah UAN, tetap saja terdapat masalah, khususnya yang menyangkut objektifikasi soal UAN dan optimalisasi hasil UAN. Objektifikasi yang dimaksud adalah mengenai model soal UAN, apakah masih menggunakan soal yang sama atau soal yang baru. Sementara optimalisasi hasil UAN pun akan dipertanyakan, bahkan mungkin diragukan, sekalipun menggunakan soal yang berbeda, apalagi jika menggunakan soal yang sama.
Lalu, jika tidak adanya justifikasi kelulusan dari hasil UAN, bagaimana kita bisa meningkatkan mutu pendidikan, khususnya lulusan SLTP dan SMU ? Untuk meningkatkan mutu pendidikan, sesungguhnya tidak perlu dengan cara menakut-nakuti siswa dengan kata “tidak lulus”, tetapi untuk meningkatkan mutu pendidikan sesungguhnya bisa dilakukan dengan memperbaiki proses belajar mengajar. Dukungan dari segala lapisan masyarakat untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar perlu digalakkan, khususnya untuk kepentingan sarana dan prasarana pendidikan (buku-buku dan sarana laboratorium sekolah, dsb.), termasuk peningkatan kesejahteraan guru didalamnya. Sekolah bukan hanya tanggungjawab sekolah, tetapi sekolah juga seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Sebab sekolah adalah institusi terpenting untuk membentuk manusia Indonesia masa depan.
Lulus Vs Tamat
Hal lain yang aneh menurut hemat penulis dari kebijakan UAN tahun ini adalah juga berkenaan dengan penggunaan dua istilah yang akan diberlakukan pada siswa, yakni istilah Lulus dan Tamat. Menurut SK Mendiknas nomor 017/U/2003 pasal 10 dinyatakan bahwa Siswa yang mengikuti Ujian Nasional berhak memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan bagi yang lulus berhak memperoleh Surat Tanda Kelulusan (STK). Bisakah seorang siswa dinyatakan tamat walaupun dia sebetulnya belum lulus? Menurut SK tersebut bisa saja seorang siswa dinyatakan Tamat tetapi dia belum Lulus. Karena mata pelajaran yang di-UAN-kan mendapat angka mati.
Lalu, apa sih hakekat Tamat dan hakekat Lulus ? Menurut kamus besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Depdiknas (1995) dinyatakan bahwa tamat diartikan sebagai berakhir, habis, selesai atau sudah selesai pelajarannya (hlm.997). Dari pengertian ini muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kalau pengertian tamat saja oleh Pusat Bahasa diartikan sebagai sudah selesai pelajarannya, tetapi Diknas juga yang kemudian menerapkan kata Tamat sekalipun belum lulus pelajarannya???? Sementara kata lulus menurut kamus yang sama diartikan sebagai berhasil dalam ujian, yang berarti juga selesai pelajarannya (hlm.606). Lho, jadi bedanya ? bedanya ya, ada di SK nomor 017 itu. Jadi Tamat versus Lulus sedang bertanding doong di SK 017 ? Iya, he..he..he.
(Ubedilah Badrun, tinggal di negeri Sakura)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<