Pemilu 2004: Sebuah Catatan Bagi Pemilih di Luar Negeri
Pemilu 2004 :
Sebuah Catatan Bagi Pemilih di Luar Negeri
Oleh: Ubedilah Badrun
Sebuah Catatan Bagi Pemilih di Luar Negeri
Oleh: Ubedilah Badrun
Tulisan ini dipresentasikan pada Diskusi Pemilu 2004 yang diadakan oleh Komunitas Masyarakat Pemantau Pemilu Independen Tokyo-Jepang
Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu memberikan gambaran cukup jelas sehingga bisa disimpulkan bahwa pemilu 2004 berbeda dengan 1999, termasuk dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Jika diamati dari sistem yang dipilihnya nampak sebagai sistem yang relatif baru bagi bangsa Indonesia. Untuk itu menurut hemat penulis ada baiknya diulas secara singkat terlebih dahulu mengenai sistem baru untuk pemilu 2004 ini,sebelum penulis memberikan catatan bagi para pemilih di luar Negeri, khususnya di Jepang.
Hal Baru di Pemilu 2004
Ada beberapa hal baru dalam pemilu yang akan digelar awal April nanti (5 April). Hal baru yang perlu diketahui antara lain misalnya dalam hal penetapan anggota DPR, DPRD provinsi, kab./kota dilakukan dengan proporsional dengan daftar calon terbuka. Pemilih mencoblos satu tanda gambar parpol dan satu calon di bawah tanda gambar parpol. Selain itu, dipilih pula anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dengan sistem distrik. Daerah pemilihan adalah provinsi yang setiap provinsi diwakili empat orang untuk diperebutkan. Pemilih mencoblos satu calon dalam tanda gambar, dan calon yang memperoleh suara terbanyak 1-4 ditetapkan sebagai calon terpilih DPD.
Selain itu, tugas pemilih adalah mencoblos calon presiden pada awal juli nanti (5 juli). Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3 % dari jumlah kursi di DPR atau 5 % dari perolehan suara sah secara nasional. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dan merata terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Suara terbanyak dan merata yang dimaksud adalah: jumlahnya lebih dari 50 % dari total jumlah suara di tingkat nasional, serta tersebar merata ( di atas 20 %) di sekurangnya separo dari jumlah propinsi di Indonesia (16 propinsi). Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara 50 % lebih, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak hasil pemilihan lanjutan (tahap kedua, 20 september) ini dinyatakan sebagai pemenang pemilihan Presiden dan wakil Presiden.
Catatan bagi Pemilih di Luar Negeri
Secara substansial pemilu 2004 yang diselenggarakan di luar negeri dengan di indonesia sesungguhnya sama saja, karena menggunakan undang-undang dan sistem yang sama. Yang membedakannya hanyalah hal-hal yang bersifat tehnis. Misalnya menyangkut kepanitiaan (PPLN), mekanisme pendaftaran pemilih ( tidak perlu pulang ke Indonesia), hingga saat pemungutan suara dan tentu saja suasana pemilu yang berbeda.
Satu hal yang menarik adalah berkenaan dengan jumlah pemilih di luar negeri. Menurut biro pengolahan data dan pengendalian informasi KPU, jumlah pemilih di luar negeri bisa mencapai sekitar 2,8 juta. Artinya jumlah tersebut cukup signifikan dan bahkan cukup strategis bagi perolehan suara partai. Apalagi dengan sistem baru, khususnya pada saat pemilihan Presiden dan wakil presiden. Betapa satu suara begitu penting artinya bagi kemenangan sang calon Presiden dan wapres. Bagaimana dengan jumlah pemilih di Jepang ? atau khususnya di Tokyo ? Menurut data dari PPLN (lihat www.marsinah.com), jumlah pemilih sementara yang terdata hingga tulisan ini dibuat mencapai 7080 pemilih. Angka sementara yang tidak sedikit. Artinya secara kuantitatif jumlah pemilih di Tokyo lumayan besar, menurut perkiraan penulis bisa mencapai antara 9.000 sampe 10.000 pemilih. Ini perlu kerja jujur dan kerja keras PPLN untuk proaktif memastikan jumlah pemilih yang sebenarnya. (meski jumlah pemilih pasti seharusnya sudah tercatat dan terdata di KPU hingga akhir desember 2003).Terlepas dari jumlah pemilih yang relatif banyak tersebut, sebagai sebuah catatan, pada sisi yang lain juga perlu di cermati, sisi lain tersebut misalnya berkenaan dengan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu nanti.
Dalam Keputusan KPU Nomor 11 tahun 2003 misalnya dijelaskan, klasifikasi pelanggaran berdasarkan tahap-tahap pelaksanaan pemilu. Klasifikasi tersebut bisa dicermati mulai dari Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B), pendaftaran peserta pemilu, penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi, pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, kampanye pemilu, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, dan pengucapan sumpah dan janji.
Dengan merujuk klasifikasi tersebut , pemilu di luar negeri juga memiliki potensi-potensi pelanggaran, khususnya berkenaan dengan mekanisme pendaftrana peserta pemilu, kampanye pemilu, pemungutan dan perhitungan suara, hingga pengiriman suara ke KPU. Potensi ini bisa saja terjadi jika mekanisme pengawasan dan pemantauan pemilu tidak berjalan. Apalagi kalau tidak ada pemantau independent. Karena itu di luar negeri, khususnya di Jepang ini juga diperlukan semacam komite pemantau pemilu independen selain panwaslu atau sebuah komite yang sifatnya moral force. Sebab jika mencermati keberadaan Panwaslu (panitia pengawas pemilu) yang telah dibuat secara formal sesungguhnya memiliki kelemahan. Sejak awal, kedudukan panwaslu dalam UU adalah subordinasi KPU. Misalnya, pada saat yang sama ia harus mengawasi tahap-tahap pemilu yang dilakukan KPU yang membentuknya. Hal ini bisa saja muncul masalah sangat dilematis yang kemudian berdampak pada penyelesaian sengketa, perselisihan, atau pelanggaran mengenai pemilu. Bagaimana dengan keberadaan panwaslu di jepang ? penulis pikir inilah pertanyaan yang perlu diajukan pada PPLN di Jepang. Kalau mengenai Komite pemantau pemilu independent ? penulis pikir ini pertanyaan untuk warga negera indonesia yang ada di Jepang, khususnya di Tokyo. Perlukah komite pemantau tersebut?
Hal lain yang juga menjadi catatan penulis bagi para pemilih di Tokyo adalah bersumber dari pernyataan bahwa kualitas hasil pemilu di Tokyo sangat ditentukan oleh pemilih. Karena itu penulis mencoba untuk mencermati karakter pemilih. Setidaknya ada 4 karakter pemilih di Tokyo. Pertama, pemilih awam. Kedua, pemilih pemula terdidik. Ketiga, pemilih primordial subyektif. Keempat, pemilih kritis.
Pemilih awam adalah mereka yang tergolong warga negara yang minim informasi mengenal politik, khsusunya mengenai pemilu. Sehingga memiliki kecenderungan untuk memilih apa saja. Pemilih pemula terdidik adalah mereka yang tergolong tau informasi mengenai politik, khususnya pemilu, dan baru pertama kali ikut pemilu. Sehingga kegamangan pilihan bisa saja terjadi. Pemilih primordial subyektif adalah mereka yang tergolong anggota partai peserta pemilu atau simpatisan, sehingga secara subyektif pasti memilih partainya. Sedangkan pemilih kritis adalah mereka yang secara rasional sadar politik dan secara kritis bisa mencermati program partai, bahkan tau calon legislatif dari suatu partai, sehingga bisa berfikir rasional sebelum menjatuhkan pilihan. Dari keempat karakter tersebut, nampaknya karakter keempat adalah karakter pemilih yang perlu disosialisasikan.
Untuk itu ada panduan bagi pemilih kritis : (1)Mencari informasi yang lengkap dan benar mengenai Pemilu, (2) Mencari tau tentang latar belakang calon (DPR,DPRD,DPD, Presiden&wapres) pilihan anda,
(3)Mencari tau tentang dasar dan program partai yang sesuai kepentingan anda, (4)Tidak menentukan pilihan karena faktor artifisial. (5)Menentukan pilihan secara independen ( bukan karena paksaan atau hadiah tertentu). Dan ke (6) adalah melaporkan kejanggalan/pelanggaran pelaksanaan pemilu ke Panwaslu, pemantau pemilu, atau media massa.
Refleksi
Meski pemilu 2004 dibayangi keraguan akan adanya perubahan yang sistemik bagi perbaikan bangsa, tetapi setidaknya pemilu adalah jalan baik yang mesti kita tempuh tuk mewujudkan masyarakt demokratis sebagai tahapan penting terbentuknya masyarakat beradab dan maju. Tetapi persoalannya dimana kunci penting tuk mendorong perubahan itu menjadi kenyataan di negara yang masih transisional seperti Indonesia ?
Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986: 19, 48) memberikan wacana penting bahwa peran elit politik (para pemimpin) untuk menjalankan demokrasi dengan baik dan keberadaan civil society yang mampu bertindak otonom, independent dan mampu diorganisior untuk tindakan yang terarah, adalah kunci penting bagi suksesnya masa transisi menuju sejatinya demokrasi.
Karena itu, dalam konteks pemilu 2004 ini dua pemain kunci tersebut menjadi begitu berarti. Bahwa penyelenggara, termasuk partai peserta pemilu, calon DPD dan Calon Presiden & Wapres (sebagai elit politik) harus memiliki komitmen yang jelas bagi terwujudnya masyarakat demokratis. Sehingga kecurangan-kecurangan pemilu bisa dihindari. Dan disaat yang sama masyarakat pemilih ( bagian dari civil society) harus mampu bertindak otonom, independent, rasional dalam menjatuhkan pilihannya, sekaligus aktif melakukan pemantauan. Sehingga produk pemilu 2004 adalah elit politik yang cukup berkualitas. Amin.
Ubedilah Badrun,Msi.
( Alumnus program pascasarjana Ilmu Politik UI, kini mengajar di Tokyo Indonesian School ).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home