Tuesday, September 20, 2005

Bila Golkar Menang Pemilu 2004

Bila Golkar Menang Pemilu 2004
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di

Lebih dari seratus hari lagi Pemilu 2004 akan berlangsung. Bagi partai politik yang akan bertarung pada pemilu 2004 nanti, hitungan hari itu menjadi begitu penting, karena menyangkut langkah-langkah strategis yang harus dilakukannya untuk mencapai kemenangan, atau paling tidak agar bisa memiliki wakil di parlemen. Karenanya berbagai langkah strategis dilakukan oleh banyak partai, dari partai besar sampai partai gurem sekalipun. Banyak kegiatan partai yang secara substantif sebetulnya sudah memulai kampanye meski dikemas dengan beragam kegiatan yang nampaknya seperti kegiatan sosial ataupun kegiatan akademik, misalnya dalam bentuk bakti sosial atau seminar, diskusi, dan dialog. Bahkan di beberapa tempat nampak bendera partai bertebaran di sepanjang jalan. Partai politik nampaknya meyakini bahwa itu tidak dikategorikan ‘mencuri’ start.
Rupanya yang ikut sibuk menjelang pemilu ini tidak hanya Partai Politik tetapi juga lembaga-lembaga lain di luar partai politik. Sebut saja misalnya sejumlah LSM ikut sibuk mengadakan survei mengenai Presiden dan kemungkinan partai yang akan menjadi pemenang Pemilu pada 2004 nanti. Denny JA (Media Indonesia, 29 Sept 2003) mencatat bahwa dalam enam bulan terakhir ini, ada beberapa survei yang dikerjakan oleh beberapa lembaga (IRI,IFES. LP3ES, LSI), namun dengan hasil yang kurang lebih sama. Bahwa partai Golkar dan orang-orang Golkar akan kembali naik ke panggung politik. Sebagaimana yang dipublikasikan oleh lembaga lain, Denny JA kemudian mengemukakan bahwa LSI juga sampai pada konklusi yang sama. Partai Golkar akan kembali mendominasi parlemen, jika pemilu diselenggarakan hari itu (di hari survei, bulan Agustus 2003). Perkiraan perolehan Golkar sebanyak sekitar 30% dan mengalahkan PDIP yang anjlok. Persentase yang diperoleh Golkar memang berbeda-beda di antara lembaga survei. Namun menurut Denny JA urutannya tetap sama, bahwa Golkar nomor satu.
Sejumlah temuan survei diatas meskipun tingkat akurasinya tidak setajam Gallup Poll di Amerika atau SWS (Social Weather Station) di Filipina, sebagaimana disinyalir Denny JA (Republika,4 oktober 2003), nampaknya hasil polling diatas menurut hemat penulis perlu dicermati secara lebih prediktif dengan sebuah pengandaian. Ada pengandaian yang perlu didiskusikan dalam mencermati kemungkinan hasil pemilu 2004 dan efektifitas pemerintahan baru setelah pemilu dilaksanakan. Pengandaian itu memunculkan sebuah pertanyaan penting, yakni “ diandaikan Golkar menjadi pemenang Pemlilu pada 2004 nanti, bagaimanakah efektifitas pemerintahan bisa dijalankan?”. Pengandaian ini penting untuk paling tidak memberikan satu wacana yang sifatnya antisipatif atau prefentif.
Pengandaian dan Efektifitas Pemerintahanya
Andai Partai Golkar menjadi pemenang Pemilu pada 2004 nanti, baik pemenang jumlah kursi di DPR maupun Presiden yang dijagokannya menang, ada beberapa argumentasi rasional untuk meyakinkan bahwa perjalanan pemerintahannya sulit menjadi efektif, atau yang berjalan adalah pemerintahan yang tidak efektif. Beberapa argumentasi tersebut bisa dicermati dari tiga hal. Pertama, Partai Golkar adalah partai yang tidak lepas dari stigma Orde Baru. Stigma ini tentu saja beralasan karena memang selama Orde Baru berkuasa, partai Golkar lah yang menguasai hampir seluruh proses politik. Sehingga sejumlah kesalahan besar Orde Baru tidak bisa lepas dari kesalahan Golkar. Terhadap kenyataan ini, menjadi mahfum kalau kemudian kelompok-kelompok penentang pada masa Orde Baru menjadi oposisi yang kuat dan massif melawan pemerintahan yang dikuasai Golkar, dengan sejumlah tuntutan atas dosa masa lalu Golkar. Tentu saja pemerintahan Golkar sangat sulit mensikapi protes-protes kelompok penentangnya, sehingga ketegangan politik akan terjadi dan menyita waktu yang amat panjang. Implikasinya jalannya pemerintahan baru menjadi terganggu atau akan tidak efektif.
Kedua, Partai Golkar pada beberapa tahun terakhir ini telah memproduksi dosa baru yang masih menjadi masalah. Sebut saja misalnya mengenai Buloggate II yang secara hukum dan opini publik masih menempatkan Akbar Tanjung sebagai terpidana korupsi dana Bulog yang diduga digunakan untuk kegiatan Partai. Masalah ini akan tetap mengemuka dan menjadi ganjalan politik partai Golkar jika memenangkan Pemilu pada 2004 nanti. Saat ini saja realitas tersebut sering menjadi dagelan politik yang menggelikan dan merendahkan kualitas politik bangsa, hanya gara-gara satu orang kemudian Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden yang diproduksi DPR masih membolehkan terdakwa mencalonkan diri menjadi Presiden. Dalam konteks masalah Akbar Tanjung ini, pada gilirannya akan mengganggu jalannya pemerintahan baru. Artinya pemerintahan Golkar akan menghadapi tuntutan publik mengenai masalah Akbar Tanjung yang nota bene adalah ketua umum partai Golkar. Sehingga jalannya pemerintahan setidaknya akan terganggu, dan jika masalah ini makin meruncing, maka dengan sendirinya pemerintahan akan berjalan tidak efektif.
Ketiga, kemenangan partai Golkar dengan sendirinya akan berimplikasi pada kuatnya bargaining position Golkar dalam berhadapan dengan partai-partai politik lainnya, baik di DPR maupun di kabinet bentukan Golkar. Hal ini berakibat pada terhambatnya penyelesaian agenda reformasi total yang digagas mahasiswa dan rakyat pada 1998, karena banyak agenda yang pada akhirnya bisa memperkarakan orang-orang Golkar. Sebut saja misalnya dalam agenda supremasi hukum dan penegakkan Hak Azasi Manusia, khususnya dalam kasus mantan Presiden Soeharto dan sejumlah tragedi kemanusiaan seperti tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Dengan masalah yang pada akhirnya bisa memperkarakan orang-orang Golkar ini, tentu saja Golkar sulit untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara total. Implikasinya pemerintahan baru akan berhadapan dengan kelompok penentang seperti mahasiswa yang radikalisasinya makin menguat, sehingga bisa berakibat pada tidak efektifnya pemerintahan baru.
Sebetulnya, selain tiga argumentasi diatas yang mengakibatkan akan tidak efektifnya pemerintahan baru jika partai Golkar menang, ada argumentasi empirik yang sudah berjalan dan terjadi pada setelah pemilu 1999 yang lalu. Bahwa hasil pemilu 1999 menunjukkan partai Golkar memperoleh suara pada peringkat kedua setelah PDIP. Pada akhirnya partai Golkar masih kuat mengendalikan DPR dan bahkan pemerintahan, sehingga pemerintahan baru berjalan tidak efektif untuk menegakkan reformasi total hingga hari ini. Pada peringkat kedua saja pemerintahan baru berjalan tidak efektif, apalagi jika partai Golkar perolehan suaranya diatas partai-partai lainnya. Artinya memang sulit berharap pemerintahan akan berjalan efektif jika pemenang pemilu justru diraih partai yang menjadi sumber masalah, atau paling tidak partai yang memiliki dosa politik tak terbantahkan.
Tindakan Prefentif
Jika prediksi ketidakefektifan pemerintahan baru itu benar atau setidaknya mendekati kebenaran, maka terlalu banyak social cost yang mesti dibayar rakyat, dan kerugian pada akhirnya akan menimpa masa depan bangsa ini. Karena itu yang diperlukan saat ini adalah tindakan prefentif agar kerugian besar itu tidak terjadi. Beberapa tindakan prefentif bisa dilakukan antara lain dengan dua hal. Pertama, kekuatan-kekuatan politik reformis termasuk partai politik reformis yang bebas dari dosa politik dan memiliki etika politk yang baik, segeralah melakukan konsolidasi politik secara sungguh-sungguh. Ego politik sesama kaum reformis nampaknya perlu dihilangkan, sebab bisa jadi hal itu menjadi titik lemah yang memudahkan kekuatan politik maupun partai non reformis memperoleh kemenangan
Kedua, fungsi sosialisasi politik dari partai politik (meminjam istilah Gabriel A Almond, Comparative Politics Today,1974), nampaknya perlu dilakukan secara lebih serius ke arah sosialisasi politik yang sehat tanpa harus kehilangan spirit untuk mengakhiri hegemony politik Orde Baru yang penuh dosa politik itu. Apa yang dilakukan Tewas ORBA ( komite waspada Orde Baru) beberapa hari yang lalu tentang Calon Presiden yang harus bebas Orde Baru bisa menjadi contoh penting bagi sebuah sosialisasi politk yang sehat dan antisipatif. Untuk mendudukkan persoalan masa depan bangsa kepada masyarakat ketimbang memenuhi kepentingan ego elit politik tertentu.
Jika dua hal minimal tersebut tidak dilakukan kaum reformis, dan kemudian partai Golkar kembali memenangkan pemilu maka realitas itu akan mendorng kemungkinan radikalisasi yang menguat dikalangan mahasiswa maupun rakyat. Wallahu a’lam.
( Ubedilah Badrun, Mengajar Civics Education & Social Science di The Tokyo-Indonesian School – Jepang ).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<