Tuesday, April 15, 2014

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di aktual.co tanggal 14 April 2014

Hasil pemilu legislatif 2014 belum usai dihitung, elit politik seolah terhipnotis oleh hasrat berkuasa yang memuncak ketika perbincangan capres cawapres dan soal koalisi mengemuka. Elit politik mupun publik hampir lupa atau bahkan hilang sikap kritisnya terhadap penyelenggaraan pemilu yang sesunggunnya tidak luput dari kecurangan dan tumbuh suburnya money politic yang jauh lebih dahsyat dan lebih liar dan terbuka pada pemilu 2014 ini dibanding pemilu sebelumnya. Para politisi nampaknya lupa tentang spirit utama memasuki arena politik yang telah dicontohkan para pendiri bangsa ini. Mereka lupa menjadikan Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Natsir, dan lain lain sebagai contoh empirik politisi yang menempatkan national interest (kepentingan nasional) sebagai orientasi utama. Nampaknya elit politik juga lupa menjadikan para pendiri bangsa itu sebagai contoh empirik dari wajah elit politik Indonesia yang menempatkan etika politik sebagai panglima.
Orientasi Politik
Dalam khazanah politik klasik lebih dari dua ribu tigaratus tahun lalu gagasan demokrasi sebagai bagian dari politik diperdebatkan dan diparktekan. Buah perdebatan dan eksperimen demokrasi itu kemudian melahirkan apa yang sekarang dikenal sebagai pemilihan umum atau pemilu. Jika kita merujuk pada gagasan awal politik demokrasi itu sesungguhnya bertujuan untuk mewujudakan kehidupan yang lebih baik ,Aristoteles (450 SM) menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dari khazanah klasik ini kita diingatkan tentang sebuah orientasi politik yang mulia yakni en dam onia, sebuah kehidupan yang lebih baik, bukan orientasi utamanya merebut kekuasaan.

Tentang etika politik dan kemuliaan orientasi politik dimasa lalu perlu dikemukakan, hal ini untuk mengingatkan tentang sesuatu yang penting dari sekedar perebutan kekuasaan di dalam politik. Salah satu yang menggambarkan hilangnya etika politik dan memudarnya orientasi mulia dalam politik adalah ketika politik dijadikan komoditas dan sebagai arena kompetisi liar dan arena transaksional tak ubahnya seperti jual beli di pasar loak atau bahkan di black market.

Sesungguhnya politisi saat ini bisa belajar banyak hal dari para p[endiri bangsa, dari soal menempatkan kepentingan nasional, idealisme, sampai soal kesederhanaan. Meski pada mereka semua keteladanan itu ada pada masing masing tokoh, penulis coba ambil sisi dominannya dari mereka. Pada Soekarno-Hatta kita bisa belajar bagaimana menempatkan kepentingan nasional dan idealisme kebangsaan sebagai hal utama. Pada Agus Salim kita bisa belajar kesederhanaan meski menjadi pejabat negara tetapi tetap hidup sederhana bahkan nomaden dari kontrakan ke kontrakan. Pada Hatta kita bisa belajar bagaimana ia pandai mengelola emosi dan menahan diri dari keinginan keinginan materialnya, bahkan sepatu impiannya pun tak sampai terbeli hingga akhir hayatnya. Atau kepada Natsir yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel kekontrakannya. Atau pada Wahid Hasyim kita bisa belajar bagaimana kita mesti punya sikap menghormati minoritas. Atau pada Tan Malaka yang memilih jalan hening berjuang membangun idealisme anak muda tanpa hingar bingar publikasi media. Keteladanan mereka perlahan kini makin hilang diarena politik liberal negeri ini pasca amandemen UUD 1945. Pemilu yang transaksional dan tumbuh subur nya money politic telah mengikis etika politik kebangsaan elit politik kita. Elit politik nampak membiarkan praktik praktik curang dalam pemilu leguslatif 2014 yang baru saja usai .
Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Andrew Reynolds & Ben Reilly(2002) meyakini bahwa pemilihan umum adalah metode dimana suara suara rakyat diterjemahkan menjadi kursi-kursi milik partai dan milik para kandidat anggota legislatif yang memenangkan pemilihan. Begitu juga ilmuwan politik lainya seringkali memahami perolehan kursi sebagai produk kompetisi pemilu antar kandidat, tetapi tidak banyak yang meneliti dan mengamati secara serius tentang bagaimana sebuah partai atau kandidat mendapatkan suara yang berbuah kursi di parlemen atau jabatan negara lainnya. Ada banyak cara mendapatkan kursi di parlemen selain cara cara normal seperti kreativitas marketing politik, popularitas dan bekerjanya mesin politik. Dalam konteks inilah menjadi penting mencermati pola pola jual beli suara dalam pemilu legislatif 2014 yang baru saja dilaksanakan beberapa hari lalu.

Sedikitnya ada lima pola jual beli suara yang terjadi pada pemilu 2014 yang penulis temukan dari deep interview kepada para pemilih. Pertama, pola makelar tokoh lokal. Pola ini seringkali terjadi seminggu atau beberapa minggu sebelum pemilihan umum dilangsungkan. Biasanya sang makelar tokoh lokal mendekati para calon anggota legislatif (caleg) atau sebaliknya dan menawarkan jaminan perolehan suara dengan jumlah perolehan suara tertentu dengan harga tertentu. Makin besar jumlah rupiah yang diberikan maka makin banyak jumlah suara yang diperoleh. Rata rata persuara dihargai antara 20 ribu sampai 200 ribu. Cara ini dianggap cenderung lebih aman bagi para caleg karena caleg tidak memberikan uang langsung ke pemilih tetapi sang makelar tokoh lokal tersebut yang memberikan langsung. Kedua, pola Pembeli Surat Berharga. Pola ini dilakukan oleh pelaku pembeli surat panggilan pemilih yang tidak ada orangnya atau meninggal dunia tetapi ada di DPT. Pelaku dalam pola ini biasanya mendekati PPS sehari atau seminggu sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara dengan menanyakan kepada panitia atau pengurus ditingkat RW tentang surat panggilan yang tidak ada pemilihnya. Jika sang pembeli ini menemukan jawaban dari PPS bahwa ada banyak surat panggilan yang tidak ada pemilihnya maka mereka tidak segan segan langsung mau membeli surat panggilan tersebut.Rata rata mereka menawarkan harga satu surat panggilan pemilih seharga 5 ribu sampai 20 ribu rupiah. Biasanya mereka menyewa orang untuk memilih di TPS tersebut sesuai surat panggilan.

Ketiga, pola beli langsung. Pola ini dilakukan langsung oleh caleg yang bertemu dengan pemilih dengan memberikan langsung uang kepada pemilih beberapa hari sebelum pemilu dan beberapa jam sebelum pemungutan suara. Besaran pola beli langsung ini satu suara senilai 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Keempat, Pola Sembako. Pola ini dilakukan oleh aktivis atau pengurus partai ditingkat lokal bekerjasama dengan masyarakat setempat. Pola sembako ini mereka memberikan bingkisan kepada pemilih dengan isi bingkisan berupa bahan bahan sembako lengkap yang terdiri dari minyak goreng, beras dua liter, gula 1 kg, teh celup, mie instan 2 sampai 5 bungkus. Pemberian sembako ini dilakuam oleh caleg dengan memanfaatkan struktur partai ditingkat bawah. Besaran caleg atau partai politik dalam satu kabupaten mengeluarkan paket sembako nilainya mencapai 1 sampai 10 Milyar. Kelima, Pola Bom. Pola bom ini dilakukan hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara. Disebut bom karena nilai uang yang diberikan kepada pemilih adalah nilai tertinggi dari semua caleg yang memberikan uang kepada pemilih. Sang caleg atau kaki-kakinya berani memberikan uang tertinggi kepada pemilih di jam terakhir atau sering juga disebut serangan fajar beberapa jam sebelum memilih dengan harapan pemilih akan memilih mereka yang memberikan uang paling banyak. Keenam, Pola Beli Suara Caleg Lain. Pola ini dilakukan usai perhitungan suara. Suara caleg yang memenuhi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih dalam suatu Daerah Pemilihan) atau suara caleg yang paling besar dalam satu partai dipastikan mendapatkan satu kursi karena limpahan dari suara partai jika memenuhi BPP. Tetapi untuk memenuhi BPP tidaklah mudah oleh karenanya caleg yang berduit berani membeli suara dari caleg lain baik internal caleg satu partai, maupun suara dari caleg partai lain, dan ini membutuhkan keterampilan sistemik untuk melakukan perubahan angka angka dalam form D1 dtingkat KPPS agar tidak merubah jumlah pemilih yang datang ke TPS.

Temuan pola jual beli suara pada pemilu 2014 tersebut membenarkan tesis penulis sebelumnya dalam tulisan dengan judul Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Tipologi Caleg pada Pemilu 2014 (http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/04/116/850729/), bahwa kecenderungan pemenang pemilu legislatif adalah mereka caleg yang masuk kategori prestise dan trader yang memiliki modal ekonomi yang besar. Pola jual beli suara ini secara sistemik merusak kualitas demokrasi. Mereka yang terpilih adalah mereka yang mengeluarkan uang banyak dalam pemilu dan dengan caleg seperti itu maka akan cenderung menjadi anggota legislatif yang orientasinya bukan untuk kepentingan nasional. Selain itu, jual beli suara yang marak dan beragam ini juga merusak partai yang bekerja secara serius merawat konstituen sepanjang 5 tahun sebelumnya sekaligus juga merusak konstruksi berfikir masyarakat yang pada akhirnya menganggap lumrah praktek jual beli suara. Jika jual beli suara ini dianggap lumrah, maka kesimpulannya Republik ini sedang rusak!
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Direktur Puspol Indonesia.

1 Comments:

Blogger apit trimardiyan said...

this your site really helpful. please visit back to ST3 TELKOM thanks

11:03 AM  

Post a Comment

<< Home

<