Thursday, April 01, 2010

Membaca Etika Elit Politik Kita

Membaca Etika Elit Politik Kita

Relasi psikologis elit politik dengan perilakunya

Oleh: Ubedilah Badrun

Fenomena perilaku elit politik kita dalam sepuluh tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persolan etika politik, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan filosofi bangsa dalam berpolitik, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork, meluapnya kemarahan dalam menghadapi kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, memutarbalikan kesalahan menjadi kebenaran dengan politik make up, menurut perspektif penulis merupakan persoalan psikologis elit politik yang berdampak pada etika politiknya. Robertus Robert dalam makalahnya mengungkapkan bahwa hidup dan berpolitik saat ini berjalan tanpa prinsip. Inilah salah satu persoalan etis paling mendasar dalam demokrasi kontemporer. Dimensi etis dalam relatifisasi dan kematian prinsip ini secara simultan bertemu dengan kerusakan dalam dimensi psikologis yang sama-sama diakibatkan oleh industri media kontemporer berupa tenggelamnya ingatan (Demokrasi, Mediakrasi, dan kaum Medioker,2010).

Perilaku elit politik Indonesia yang demikian sesungguhnya berkorelasi dengan peristiwa politik. Pergolakan politik Indonesia mutakhir sebagai sebuah peristiwa politik nampak secara jelas dipengaruhi oleh perilaku elit politik yang ada di republik ini. Peristiwa paling dekat kita bisa cermati dari konflik KPK-POLRI beberapa bulan lalu dan kasus Bank Century.

Etika politik Indonesia sesungguhnya bisa dibangun dengan dua hal, yakni oleh kemampuan menterjemahkan konsensus nasional secara tepat dalam kehidupan politik dan kemampuan menterjemahkan kejujuran nurani dalam kehidupan politik. Hal pertama akan melahirkan perilaku politik yang taat pada konstitusi dasar dan taat pada aturan-aturan politik serta tidak menghianatinya. Hal kedua akan melahirkan perilaku politik yang santun, rasional, apresiatif pada prestasi politik orang lain termasuk lawan politik, dan menempatkan kejujuran sebagai spirit komunikasi politik. Pada ranah kedua ini coba penulis konstruksikan dalam analisis relasi psikologis elit politik dengan perilaku elit politik. Karenanya kajian yang menyangkut hal psikologis dalam kaitanya dengan perilaku elit politik penting untuk didiskusikan.

Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Apa yang membuat diri kita begitu hebat di mata hati orang lain? Data empiris menunjukkan bahwa hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati nurani. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Ada komentar rasional yang menunjukkan pentingnya hati nurani dan lebih sedikit menyindir para pengagum IQ (baca-rasionalitas semata), yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence menyatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).

Praktik politik elit politik nasional juga nampaknya cenderung membiarkan ‘rasionalitas’ lebih berkuasa dibanding nurani atau kejujuran. Logika kuantitatif politik lebih digunakan elit ketimbang keberpihakan kepada nurani atau kepentingan rakyat banyak. Hal ini bisa dicermati dalam kasus koalisi elit politik sejak pemilu 2004 dan pemilu 2009. Koalisi politik yang terjadi cenderung koalisi pragmatis yang mengedepankan bagi-bagi kue kekuasaan yang sangat akuntatif, berkoalisi sekedar mendapatkan kekuasaan berapa?. Walhasil koalisi tidak pernah menghasilkan pemerintahan yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Koalisi menjadi sangat rapuh karena tidak dibangun dengan dasar koalisi gagasan besar yang menjadikan filosofi bangsa dan konstitusi Negara sebagai pijakan dalam menjalankan pemerintahan. Efek berbahaya dari lenahnya basis etika politik elit politik nasional adalah pencapaian cita-cita besar berbangsa dan bernegara menjadi sangat lamban tercapai dan berdampak pada berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya , integrasi bangsa dan moralitas hidup.

Analisis diatas menunjukkan ada dua persoalan besar yang menyangkut problem etika politik kehidupan politik nasional kita. Dua persoalan tersebut menyangkut (1) menjauhnya etika politik elit politik dari basis hidup berbangsa dan bernegara yakni dasar bernegara dan konstitusi bernegara.(2)menjauhnya elit politik dari basis etika hidup antar manusia sebagai warga yakni hati nurani dan kearifan hidup. Dua hal tersebut terjadi karena menempatkan “rasionalitas akuntatif’ sebagai panglima. Dalam kajian psikologi menggunakan perspektif Robert J.Stemberg sebagaimana ditulis diatas sebagai membiarkan IQ berkuasa, dan karenanya dinilai memilih penguasa yang buruk (1996).

Lalu persoalannya adalah bagaimana dua persoalan etika politik itu bisa diminimalisir? Dua problem etika tersebut hanya bisa diminimalisir dengan pendekatan yang holistic. Bahwa problem pertama bisa dilakukan dengan analisis utuh tentang praktik-praktik politik nasional yang menjauh dari filosofi berbangsa dan bernegara Indonesia dan melakukan regulasi untuk memperkuat komitmen pada kesepakatan berbangsa dan bernegara. Misalnya menyangkut problem koalisi politik bisa ditelusuri sampai pada pentingnya meningkatkan jumlah persentase parliamentary threshold dari 2,5 % menjadi 4 % atau 5 % untuk menciptakan sistem multi partai sederhana yang cenderung dapat menjalankan pemerintahan yang efektif. Dalam kasus lain misalnya menyangkut pentingnya regulasi baru atau amanden UUD menyangkut Pilkada yang memakan dana yang cukup besar dan melahirkan buruknya etika poitik dalam praktik politik di daerah. Pemilihan kepala daerah dapat diubah polanya dengan pemilihan oleh anggota DPRD dengan dasar budaya politik nasional musyawarah mufakat, khususnya untuk tingkat kabupaten. Hal-hal demikian setidaknya dapat meminimalisir problem etika politik dalam praktik politik baik nasional maupun daerah.

Masalah “rasionalitas akuntatif” yang berkuasa dalam praktek politik elit politk nasional memungkinkan dapat diminimalisir dengan menguatnya kontrol civil society maupun media massa. Problemnya memang ketika media juga menempatkan “rasionalitas akuntatif” dalam pemberitaan politik. Karenanya pers yang mampu memadukan antara idealism pers, kepentingan “rasionalitas akuntatif”(capital), dan kepentingan berbangsa dan bernegara menjadi jalan tengah perlu didiskusikan lebih lainjut.

Ubedilah Badrun Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

<