Titik Balik Kegagalan ?
Titik Balik Kegagalan ?
Oleh : Ubedilah Badrun
Ada banyak pertanyaan yang sekarang ini muncul ke permukaan berkenaan dengan nasib bangsa ini. Pertanyaan tersebut antara lain“ Mengapa krisis di Indonesia sampai saat ini belum bisa dipulihkan ?” “ Benarkah bangsa ini sudah berada pada titik kebuntuan !?” “Akankah titik balik kegagalan yang akan mengisi lembar perpolitikan Indonesia kedepan ?” Pertanyaan – pertanyaan tersebut menggugah penulis untuk urun rembuk mencermati persoalan bangsa yang carut-marut ini.
Sebelum lebih jauh mencermati kondisi bangsa yang carut-marut saat ini, ada baiknya kita mengingat kembali saat-saat menjelang kejatuhan rezim otoriter orde baru Pada saat itu terlihat dengan jelas betapa rakyat Indonesia begitu antusias mendukung gerakan reformasi dan penuh harap agar otoriterisme, ketidakadilan dan korupsi segera berakhir. Antusiasitas rakyat tidak sia-sia, Soeharto sebagai simbol rezim otoriter akhirnya jatuh pada 21 Mei 1998. Kejatuhan itu mampu membangun optimisme rakyat untuk memperbaiki bangsa agar bebas dari belenggu otoriterisme, ketidakadilan dan bebas dari korup. Kepercayaan publik internasional juga mulai pulih. Tetapi sayang, optimisme dan kepercayaan (yang sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memperbaiki bangsa) tidak dimanfaatkan dengan baik tetapi malah dirusak oleh rezim-rezim baru, baik oleh rezim eksekutif maupun rezim legislatif.
Dirusak Rezim – Rezim Baru
Untuk mencermati bagaimana rezim – rezim baru (eksekutif & legislative / Presiden & DPR-MPR ) tidak mampu memanfaatkan peluang dengan baik ada baiknya satu persatu rezim baru tersebut dianalisis (dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai ketua DPR-MPR dan anggotanya ). Hal ini dilakukan agar bangsa ini bisa mengambil pelajaran dari kebodohannya.
Naiknya Habibie menjadi presiden penuh dengan kontraversi, baik kontraversi konstitusional (sah tidaknya Habibie menurut konstitusi) maupun kontraversi tentang kedekatan Habibie dengan Soeharto. Sekalipun Habibie bersikeras menampilkan pemerintahan yang demokratis tetapi factor kedekatanya dengan Soeharto menjadikan pemerintahannya berjalan tidak efektif sehingga menghambat kelanggengan kekuasaanya. Demonstrasi penolakan terhadap rezim Habibie berlangsung cukup lama, bahkan sempat memakan korban jiwa rakyat dan mahasiswa (tragedi Semanggi). Rezim Habibie juga setengah-setengah menegakkan supremasi hukum dalam menangani kasus-kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme ( pengadilan atas mantan presiden Soeharto, Tommy, dsb.) Bahkan membuat masalah baru dengan adanya kasus Bank Bali. Dan, pada saat yang sama rezim Habibie membuat kebijakan yang paling sensitive yakni memberikan kebebasan pada rakyat Timor- Timur untuk menentukan nasibnya sendiri melalui jejak pendapat yang berakhir dengan lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah kebijakan yang menyakitkan kelompok nasionalis yang berada di parlemen (DPR/MPR) hasil pemilu yang dilaksanakan rezim Habibie sendiri. Ketidaktegasan rezim Habibie dan kebijakan yang sensitive memperparah sekaligus memperlambat proses penyelesaian agenda reformasi. Perseteruan politik dan konflik sosial juga mewarnai pemerintahan Habibie (konflik di Ambon, dsb.). Habibie akhirnya jatuh setelah laporan pertanggungjawabannya di tolak MPR. Waktu satu tahun lima bulan tidak dimanfaatkan dengan baik oleh rezim Habibie.
Naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden mampu membangun kepercayaan rakyat dan dunia internasional. Hal ini bisa dicermati misalnya dari naiknya nilai mata uang rupiah mencapai Rp.6.700 per dollar. Ini merupakan kesempatan emas untuk menggairahkan ekonomi nasional. Walaupun sebetulnya naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden juga mengandung kontraversi demokrasi dan menjadi embrio bagi konflik-konflik politik selanjutnya. Betapa tidak ? Abdurrahman Wahid yang basis partainya (PKB) dalam pemilu 1999 hanya mencapai 11 persen, jauh di bawah PDIP, bisa menjadi presiden. Terlepas dari kontraversi dan embrio konflik politik tersebut, Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih menjadi presiden melalui mekanisme “demokrasi formal” di MPR oktober 1999 dan segera membentuk kabinet pemerintahannya.
Pemerintahan baru terbentuk dan pada mulanya pasar memang menaruh kepercayaan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, tetapi setelah kesalahan demi kesalahan dilakukan, mulai dari pembentukan kabinet yang tidak professional, soal pergantian menteri yang kontraversial, sampai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkaran dekat presiden Abdurrahman Wahid dan berbagai isu negatif lainnya yang memicu konflik antar elit politik, pasar mulai berreaksi negatif hingga rupiah melemah sampai Rp.9.000 per dollar (dari Rp.6.700 per dollar saat pertama Abdurrahman Wahid naik jadi presiden). Peluang emas pemulihan ekonomi nasional tidak dimanfaatkan dengan baik oleh rezim Abdurrahman Wahid, tetapi sibuk membuat kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang kontraversial hingga membelenggu kelanggengan kekuasaanya sendiri. Maklumat(“dekrit”) presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 adalah kebijakan yang inkonstitusional menurut MPR. Andaipun maklumat itu konstitusional, kebijakan tersebut sangat terlambat. Mengapa tidak sejak awal ketika baru terpilih sebagai presiden mengeluarkan maklumat tersebut. Rezim Abdurrahman Wahid akhirnya jatuh dari kekuasaanya pada 23 Juli 2001 melalui sidang MPR, hanya beberapa jam setelah maklumat tersebut di keluarkan..
Megawati terpilih sebagai presiden RI ke V menggantikan Abdurrahman Wahid. Dukungan rakyat dan dunia internasional kembali terlihat. Tetapi, sekali lagi peluang emas tersebut sampai saat ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Rezim Megawati nampak terlihat tidak secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan dan perubahan-perubahan besar. Bahkan beberapa kebijakannya bermasalah (kasus PKPS, walaupun akhirnya diralat, menaikan harga BBM, dan masalah asramagate yang bisa saja akan mengakhiri kekuasaannya). Selain itu kasus Akbar Tanjung (Buloggate II) yang ditangguhkan penahannya, semakin menunjukkan bahwa rezim Megawati memang setengah-setengah dan tidak bisa diharapkan untuk melakukan perbaikan dan perubahan mendasar di Republik ini. Megawati nampaknya tidak populis lagi untuk kembali menjadi presiden pada 2004 dan waktu yang tersisa hingga 2004 hanya akan di isi dengan kesibukan untuk kepentingan partai politiknya. Jadi, peluang perbaikan dan perubahan mendasar kembali tidak dimanfaatkan dengan baik.
Selain rezim eksekutif (presiden dan kabinetnya) yang memang tidak pandai memanfaatkan peluang emas untuk melakukan perbaikan dan perubahan mendasar, rezim legislative ( DPR&MPR) juga menunjukkan ketidakpandainnya memanfaatkan peluang emas perbaikan dan perubahan mendasar tersebut. Beberapa ketidakpandaian rezim legislative tersebut antara lain terlihat dari ketidakpandaian ketua dan anggota rezim legislative untuk bersikap dan menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas kongruen dengan substansi agenda reformasi total. Sebut saja misalnya hasil sidang umum MPR yang akhirnya memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden, padahal Abdurrahman Wahid basis partainya hanya mencapai 11 persen pada pemilu 7 juni 1999 (kesediaan Abdurrahman Wahid menjadi presiden juga ketidakpandaian tersendiri ?). Bukankah ini hasil sidang yang justru membentuk embrio konflik politik. Embrio ini semakin terlihat beberapa bulan setelah rezim Abdurrahman Wahid berjalan. Poros tengah yang digalang Amin Rais adalah aktor ketidakpandaian itu yang menciptakan embrio konflik politik.
Contoh lain ketidakpandaian rezim legislative adalah ketidakberhasilannya membuat undang-undang. Tidak ada undang-undang yang dihasilkan DPR merujuk pada substansi reformasi total, bahkan puluhan rancangan undang-undang dibiarkan begitu saja dan lebih sibuk dengan konflik-konflik politik yang dibangunnya sendiri. Amandemen UUD 1945 yang lebih substansial, kini juga terkatung-katung. Nampaknya akan ada kebuntuan konstitusi. Ide perlunya Mahkamah konstitusi masih belum terformulasi. Peluang emas perbaikan dan perubahan mendasar yang seharusnya bisa dilakukan rezim legislative tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan kini DPR mengalami krisis moral yang sangat memalukan. Betapa tidak memalukan ? Ketua DPR-nya terpidana dan anggotanya terbiasa dan senang menerima suap (kasus komisis Anggaran DPR).Bukankah ini sebuah ketololan ?
Sebuah Titik Balik
Jika ditelusuri lebih cermat saat awal kejatuhan rezim otoriter orde baru sebetulnya terlihat betapa bodohnya elit politik baru republik ini, yakni elit politik baru tidak membuat garis tegas terhadap rezim sebelumnya. Sehingga apa yang diinginkannya tentang perubahan mendasar berjalan secara setengah-setengah. Dan kini, baik rezim eksekutif maupun rezim legislative terlalu banyak membuat kegagalan demi kegagalan. S Sebuah titik balik kegagalan mungkin akan terjadi. Titik balik itu ada dua kemungkinan, bisa revolusi damai atau revolusi yang rusak-rusakan. Jangan salahkan rakyat kalau justru revolusi yang rusak-rusakan itu yang akan terjadi, sebab rakyat sudah muak dengan tingkah laku rezim yang justru memperpanjang penderitaan rakyat. Muak dengan tingkah laku rezim yang doyan korupsi dan kolusi. Apalagi kini Pemerintah Indonesia dihadapkan pada isu terorisme yang mengarah kepada ketidakberdayaan negara di ’obok – obok’ AS.
Persoalannya memang ada pada ketidakberanian rezim untuk membuat “GARIS TEGAS” atau “GARIS PEMBEDA” antara yang salah dan yang benar, antara yang korup dan tidak korup, antara rezim orba dan rezim reformasi total, antara nasionalisme dan neokolonialisme. Jika garis tegas atau garis pembeda itu dimiliki rezim maka langkah -langkah implementasi jalannya negara akan berjalan sesuai agenda reformasi total sebagaimana juga cita – cita The founding Fathers and Mothers bangsa ini . Nah…sebelum revolusi rusak-rusakan itu terjadi, segeralah membuat garis tegas itu !!!.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home