Saturday, February 04, 2006

Pesantren dan Kepemimpinan Nasional

Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
Oleh : UBedilah Badrun

Fenomena munculnya sejumlah politisi muslim / pemimpin nasional yang berlatar pesantren di Indonesia nampaknya menjadi sesuatu yang menarik bagi PPI Jepang. Saya bertanya-tanya argumentasi apa yang membuat PPI Jepang bersemangat untuk mengadakan dialog tentang konstribusi Pesantren di Indonesia? Sejauh yang bisa saya pahami nampaknya realitas empiris Indonesia kontemporer yang masih diliputi krisis akibat rusaknya moral politik memunculkan harapan besar bagi hadirnya kepemimpinan nasional yang memiliki moralitas politik yang baik. Selain itu gelagat politik nasional yang memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin yang bersih dan memiliki basis massa yang real adalah juga logika lain yang bisa dimengerti. Basis massa real yang sudah mengakar dalam tradisi Indonesia salah satunya yang paling berpengaruh adalah lembaga pesantren. Karena itulah komunitas pesantren menjadi realitas yang masih sulit di pisahkan dari hiruk pikuk politik nasional. Untuk mengurai sub tema “Pesantren dan Kepemimpinan Nasional” ada baiknya saya mengkaji 3 hal yang bisa menjadi bahan diskusi: (1) Hubungan pesantren dan Politik/kekuasaan/kepemimpinan,(2) Perkembangan Pesantren dan Politisi Santri. dan (3)Problem Kepemimpinan Nasional dan Solusi yang bisa di diskusikan.

Sekilas Sejarah Hubungan Pesantren dan Politik / Kekuasaan / Kepemimpinan di Indonesia
Jika kita telusuri sejarah Pesantren sejak masa akhir kerajaan Hindu Budha dan awal berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada abad 13 hingga masa kolonialisme Belanda, kita akan temukan betapa dalam tradisi Islam di Indonesia sulit melepaskan diri dari urusan politik/kekuasaan/kepemimpinan. Pemimpin-pemimpin kerajaan Islam pada masa itu kerap berlatar belakang pesantren atau pesantren sebagai lembaga yang merestui sang raja. Hal ini bisa kita cermati dari sejarah Sultan Malik al-Saleh di Samudera Pasai (1270), Raden Patah di Demak(1481), Sultan Pasarean di Cirebon dan Hassanudin di Banten (1552), Sultan Babullah di Ternate (1575) , dan Sultan Hassanuddin di Gowa-Tallo-Makasar (1653). (http://www.arkeologi.net). Peran para ulama dalam mendakwahkan Islam melalui mendirikan pesantren telah membentuk komunitas Islam yang memiliki kekuatan massa real dan memiliki pengaruh dalam hiruk pikuk pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan Islam.
Sengaja sekilas tentang Kerajaan Islam di Indonesia saya sebutkan di awal tulisan ini untuk melihat pijakan historis hubungan Pesantren dengan politik atau kepemimpinan nasional Indonesia hingga saat ini. Bahwa hubungan Islam dan politik pernah mengakar kuat dalam tradisi kekuasaan di Indonesia justru sejak awal berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga masa kolonialisme. Setelah itu ketika masa-masa pergerakan nasional bangkit, munculah organisasi-organisasi Islam yang dimotori oleh kaum santri. Yang paling fenomenal adalah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926. Sebuah organisasi wadah para ulama (pemimpin pesantren) dalam tugas memimpin Islam menuju cita-cita Izzul Islam Wal Muslimin (kejayaan Islam dan ummatnya). Dalam perkembangannya NU dapat berkembang dengan cepat sebagai organisasi Islam yang berskala Nasional disamping Muhammadiyah yang berdiri lebih dahulu(18-11-1912). Berkembanganya NU sesungguhnya ditunjang oleh kenyataan bahwa NU lahir di Jawa Timur yang selama berabad-abad menjadi pusat perkembangan pesantren dan tarekat di Indonesia. Karena itu berbicara pesantren akan tidak lepas dengan NU, dan melalui NU lah dunia pesantren masuk ke wilayah politik/kekuasaan/kepemimpinan.
Berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1935 yang merupakan tempat berhimpunnya berbagai organisasi Islam yang telah banyak bermunculan pada awal abad ke-20 adalah juga media terlibatnya pesantren dalam politik perjuangan hingga munculnya dukungan umat Islam terhadap memorandum tuntutan Indonesia berparlemen pada tahun 1939. Lalu, ketika kemudian Jepang berkuasa di Indonesia yang berusaha menarik kaum muslimin dan meng-angkatnya dengan cara memberikan kebebasan bergerak dalam organisasi Islam dengan mendirikan kembali MIAI pada 5 September 1942, dan kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) juga secara langsung maupun tidak langsung menjadi media komunitas pesantren masuk ke wilayah politik perjuangan.
Pada masa perjuangan ini nampak sekali bahwa NU sebagai representasi organisasi pesantren pada saat itu selain menyebarkan ajaran keislaman juga turut pula dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terlihat jelas dengan nama organisasi sebelumnya, Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Negara/bangsa). Bahkan salah seorang tokoh generasi pertama NU lainnya K.H. Wahab Hasbullah mendirikan Syubbanul Wathan (pemuda tanah air). Isu utama yang diusungnya adalah membangkitkan semangat kaum muda agar mencintai tanah air yang sedang terjajah. Masa menjelang kemerdekaan juga diwarnai kontribusi politik penting dari para ulama pesantren khususnya K.H.Wahid Hasyim dalam melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya pembukaan UUD 1945. (www.indo-news.com) .
Keterlibatan K.H.Wahid Hasyim yang saat itu menjabat Ketua Umum PB NU dalam politik perjuangan telah memberi warna tersendiri dalam kancah perpolitikan Nasional. Sebab eksistensi NU dengan pesantrennya adalah kekuatan real umat Islam pada masa itu. Ketika kemudian Indonesia Merdeka K.H. Wahid Hasyim kemudian diangkat menjadi menteri agama oleh Presiden Soekarno dalam masa yang singkat yakni 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 karena polemik dengan kubu Masyumi. Namun pada masa RIS kembali menjadi Menteri Agama hingga kemudian pada tahun 1952 kembali berpolemik dengan Masyumi dan digantikan oleh Fakih Usman dari kubu Masyumi pada masa Kabinet Wilopo April 1952. Sejak itu kemudian NU menyatakan keluar dari Masyumi.(http://www.id.wikipedia.org ). Fenomena konflik politik antara NU dan Masyumi ini terekam dengan baik oleh Herbert Feith dengan menyimpulkan bahwa perpecahan partai (NU-Masyumi) pada masa itu tampak menjadi kebiasaan. (Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, 1962).*
Diangkatnya K.H.Wahid Hasyim sebagai menteri agama sebagaimana saya sebutkan diatas adalah fenomena politik pesantren yang tidak bisa dipungkiri. Perkembangan politik pesantren kemudian makin terlihat usai pemilu 1955 dimana NU merupakan Partai Politik Pemenang Pemilu ketiga setelah PNI dan Masyumi, sehingga kepemimpinan menteri agama dipegang kembali oleh ulama berlatar belakang NU sampai runtuhnya Orde Lama pada 1966. Sejak NU menjadi partai politik dan ikut pemilu tahun 1955 itulah Pesantren makin sulit dipisahkan dengan politik/kekuasaan/kepemimpinan nasional hingga saat ini. Naluri politik, pengalaman sejarah berperan dalam politik dan basis massa yang kuat yang dimiliki komunitas pesantren telah mendorong keterlibatanya dalam wilayah politik nasional hingga saat ini.

Perkembangan Pesantren dan Politisi Santri

Ketika Mukti Ali menjabat menteri Agama hingga tahun 1978 sesuatu telah terjadi di lingkungan pesantren yang kemudian memberi warna baru bagi perjalanan politik kaum santri. Ketika itu Mukti Ali membuat kebijakan untuk memasukkan sekitar 70 persen mata pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah. Berkat pembaharuan di lingkungan pesantren inilah ekuivalensi pendidikan madrasah dengan sekolah umum diakui seperti ditegaskan UU Sisdiknas 1989 sebagaimana juga kemudian masih termuat dalam UU Sisdiknas 2003.
Menurut Azyumardi Azra (2005), sejak 1970-an pula pesantren berkembang menjadi semacam 'holding institution', lembaga yang mencakup tidak hanya institusi pendidikan agama --baik yang khusus untuk tafaqquh fid-din dan madrasah-- tetapi juga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi umum. Bahkan, pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat seperti koperasi dan usaha kecil, teknologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai kepada konservasi lingkungan. Dan pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan; sejak 1980-an, banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan, memunculkan gejala yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai 'pesantren urban'. Bahkan, sistem 'santri mukim' juga diadopsi sekolah-sekolah elite Islam, dengan menggunakan istilah 'boarding', yang dilengkapi figur 'kiai' seperti di pesantren. Berbagai pembaharuan dan perkembangan itulah yang membuat pesantren mampu tetap bertahan di tengah berbagai perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dalam masyarakat; dengan begitu pula, pesantren sekaligus mampu menampilkan citra yang kian positif terhadap distingsi pendidikannya. Semua itu juga, yang membuat anak-anak lulusan pesantren, sejak 1980-an mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara; tidak hanya di negara-negara Timur Tengah, namun juga di negara-negara Barat. Mereka ini pada gilirannya memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual Muslim di Indonesia. (Republika, Kamis, 22 Desember 2005).*
Sementara itu dua tahun setelah pemilu pertama rezim Orde Baru, komunitas politisi santri disibukkan dengan kebijakan fusi partai pada 1973. Ketika politisi santri (NU) tersisih dalam percaturan politik PPP yang berlawanan dengan MI-nya H.J Naro, melalui Munas Ulama NU di Situbondo, 21 Desember 1983 memutuskan untuk kembali ke Khitah 1926 dan dikuatkan setahun sesudahnya dalam Muktamar NU di Situbondo, 8-12 Desember 1984. Upaya NU kembali ke Khittah meniscayakan NU tidak berafiliasi kepada partai politik manapun sehingga para politisinya bebas masuk kemana saja, termasuk bebas untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah sebagaimana yang dilakukan Gus Dur dengan Forum Demokrasinya.
Martin van Bruinessen(2004) mengemukakan bahwa sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya – pertemuan, seminar – tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Realitas ini terus berkembang hingga kemudian terjadi fragmentasi politik Islam (NU-ICMI-Muhammadiyah) menjelang berakhirnya Orde Baru dan bangkitnya gerakan reformasi 1998. Usai runtuhnay rezim Orde Baru pada Mei 1998, politisi santri bermunculan bagai jamur di musim hujan, bagai harimau yang lepas dari kandangnya.
Perkembangan pesat pesantren dan banjirnya alumni pesantren yang telah menamatkan perguruan tinggi baik dalam negeri maupun manca negara (Timur maupun Barat) dan perubahan politik Nasional, telah melahirkan interpretasi baru yang berkembang di masyarakat Indonesia tentang politisi santri. Sejauh yang saya tangkap dan saya pahami dari realitas yang berkembang , politisi santri bisa didefinisikan sebagai politisi yang memiliki latar belakang dan komitmen keagamaan Islam yang kuat baik berasal dari pesantren (NU) maupun non pesantren seperti organisasi-organisasi Islam lainya (Muhammadiyah, Persis, HMI, PMII, KAMMI, HMI MPO, Lembaga-lembaga Dakwah Kampus, dll). Fenomena Nurcholis Madjid (alm), Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Hidayat Nurwahid, Hamzah Haz, Jusuf Kalla, Alwi Shihab, Nurmahmudi Ismail, Tosari Wijaya, Yusril Ihza Mahendra, M.S.Kaban, Adyaksa Dault, Anis Matta, Muhaimin Iskandar, Efendi Choeri, Tamsil Linrung, Andi Rahmat, Rama Pratama, Anas Urbaningrum dll adalah fenomena politisi santri yang lahir dari perkembangan Islam di Indonesia. Meskipun disana-sini penuh dengan kelemahan tetapi kontribusi politiknya bisa dipahami dan dalam perkembanganya telah mendorong dinamika politik nasional.

Problem Kepemimpinan Nasional dan Diskusi solusi
Akankah kepemimpinan nasional Indonesia tahun 2009 dipegang oleh politisi santri? Jawabanya sulit dipastikan, sebab politisi santri saat ini menurut hemat saya masih sulit disatukan. Mengapa politisi Islam atau politisi santri sangat sulit bersatu? Ada beberapa sebab yang bisa kita cermati:
Pertama, politisi santri dengan latar belakang partai politiknya yang berbeda masih menyimpan trauma politik masa lalu yang masih sulit di damaikan. Kisah-kisah sejarah konflik NU Vs Masyumi era tahun 50-an dan PKB Vs Poros Tengah thn 2001 masih menggelayuti pikiran politisi Islam Indonesia. Abdul Mu’ti (2004) dalam Fragmentasi Politik Santri menyebutnya masih memiliki kontradiksi internal. Olivier Roy (1996) dalam The Failure of Political Islam menyebutnya sebagai "intellectual failure".
Kedua, ego politik masih kuat dikalangan politisi Islam, atau masih kuatnya nafsu untuk berkuasa di kalangan politisi Islam. Ego politik ini pada parksisnya menjadikan politits Islam tidak memiliki sikap mengalah atas keunggulan politit Islam lainya. Inilah yang menyebabkan munculnya banyak partai Islam. Mnculnya kompetisi antara Hasyim Muzadi, Sholahuddin Wahid, Amin Rais dan Hamzah Haz dalam perebutan kepemimpinan Nasional pada pemilu 2004 lalu adalah contoh ego politik itu. Bahkan konflik internal partai juga masih mewarnai politik Islam Indonesia hingga saat ini (kasus PKB).
Ketiga, adanya kekhawatiran yang berlebihan jika salah satu dari rival politisi Islam menjadi Presiden. Kekhawatiran tersebut muncul karena konfigurasi politik yang sudah terbentuk dengan latar idiologi politik yang berbeda.
Keempat, adanya faktor kekuatan politik militer dan Golkar yang dibangun dengan pencitraan politik yang baru telah mendorong terbelahnya politisi Islam. Peristiwa Munculnya pencalonan Wiranto yang bergandengan dengan Sholahuddin Wahid dan SBY yang bergandengan dengan Jusuf Kalla adalah contoh dalam kategori ini.
Selain faktor sulitnya politisi Islam bersatu yang menyebabkan sulitnya memastikan kepemimpinan nasional 2009 di pegang oleh politisi santri, juga ada faktor eksternal yang turut memberi kontribusi , khususnya faktor pencitraan Islam saat ini yang kerap dikaitkan dengan terorisme. Peristiwa kemenangan Hammas pada pemilu yang baru saja berlalu di Palestina merupakan peristiwa penting yang perkembangannya terus di tunggu oleh dunia menyangkut sikap Amerika terhadap kemenangan itu. Sementara pengalaman kemenangan FIS di Aljazair pada 1991 dan kemenangan Partai Refah di Turki pada 1995 berakhir tragis dengan diambil alihnya kekuasaan oleh kubu militer yang di dukung AS. Akankah Hammas menjadi contoh berikutnya? Dan akankah jika partai Islam yang memenangi pemilu Indonesia 2009 akan berakhir sama sebagaimana FIS dan Refah? Bukankah semua partai politik Islam di Indonesia menjunjung tinggi UUD 1945 dan karenanya tidak bisa disamakan dengan perkembangan politik di negara-negara Islam lainya?
Lalu, sejauhmana kemungkinan politisi santri memegang tampuk kepemimpinan nasional pada 2009? Setidaknya ada beberapa solusi yang bisa didiskusikan:
(1) Mengikis empat penyebab sulitnya politisi Islam bersatu (intellectual failure, ego politik, kekhawatiran berlebihan atas idiologi politik yang berbeda, meminimalisir penguatan politik militer )
(2) Partai politik Islam berjuang keras untuk salah satunya (PKB,PAN,PKS atau PPP) menjadi pemenang pemilu 2009 atau setidaknya ada yang memperoleh lebih dari 20% suara pada pemilu legislative 2009. Sehingga bisa mencalonkan Presiden dan harus di dukung oleh semua partai Islam.
(3) Memunculkan tokoh muda yang memiliki visi kebangsaan yang kuat dan pemikiran yang kuat yang mampu melahirkan ide-ide besar bagi perubahan dan perbaikan bangsa 10 tahun ke depan. Tokoh muda inilah yang harus dimunculkan sebagai calon Presiden satu-satunya oleh Partai-partai Islam beberapa bulan menjelang pemilu 2009. Jika ini dilakukan semoga saja mampu memenuhi kerinduan seluruh rakyat Indonesia akan pemimpin yang adil, bermoral, berani, tegas terhadap semua jenis kejahatan yang merugikan negara dan rakyat, dan memiliki semangat tinggi untuk mencapai cita-cita nasional (masyarakat yang adil dan sejahtera) sesuai konstitusi UUD 1945.
* Padahal pada awal berdirinya Partai Masyumi 8 November 1945 semua golongan Islam bersatu sebagaimana tercermin dalam kepengurusan Majelis Syuro Masyumi yakni KH Hasjim Asjari (ketua umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), KH Wahid Hasjim (Ketua Muda II), dan Mr Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III). Anggota Pengurus Besar lainnya antara lain adalah Wondoamiseno, Mr Moh Roem, Muhammad Natsir, dan Dr Abu Hanifah. (http://www.gimonca.com).
* Alumni pesantren yang lulus dari Perguruan Tinggi baik dari Perguruan Tinggi Timur maupun Barat ini pada perkembangannya juga telah mendorong tumbuh suburnya khazanah pemikiran Islam di Indonesia yang juga turut memberi kontribusi bagi pencerdasan ummat Islam di Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<