EQ Elit Politik Kita Rendah
Ini tulisan tahun 2001, sengaja dimuat lagi siapa tau bermanfaat.
EQ Elit Politik Kita Rendah
Oleh : Ubedilah Badrun
Pergolakan politik Indonesia mutakhir nampak secara jelas dipengaruhi oleh perilaku elit politik yang ada di republik ini. Agar lebih jelas untuk memahami perilaku elit politik, terlebih dulu penulis kemukakan siapa sesungguhnya yang dimaksud elit politik dalam kerangka tulisan ini ? Elit politik yang dimaksud dalam hal ini adalah elit politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Roberto Pareto yakni governing elite (elit yang memerintah). Lebih lanjut Pareto mengemukakan bahwa yang termasuk katagori elit yang memerintah antara lain adalah pimpinan suatu lembaga, organisasi, atau pimpinan institusi negara (S.P. Varma ,Modern Political Theory,1967).
Dalam konteks Indonesia, elit politik yang termasuk kategori governing elite-nya Pareto adalah Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati dan Akbar Tanjung. Perilaku merekalah yang selama ini paling dominan mempengaruhi pergolakan politik di tanah air. Jika yang terjadi sampai hari ini bangsa ini sulit keluar dari krisis yang makin multidimensional maka secara struktural dan moral kenegaraan, merekalah yang pertama harus mempertanggungjawabkannya.
Pertanyaan yang menarik dan patut dianalisis adalah mengapa krisis multidimensional itu sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda pemulihan ? Padahal pada awal terpilihnya empat elit politik sebagaimana yang disebutkan diatas, peluang dan modal untuk pulih itu nampak didepan mata. Peluang dan modal tersebut antara lain : menguatnya nilai tukar rupiah, modal legitimasi yang kuat dari rakyat, dan konsentrasi publik yang kuat untuk bersama - sama menyelesaikan masalah bangsa. Peluang dan modal untuk pulih tersebut tidak dikelola secara cerdas dan holistik oleh elit politik di republik ini. Dan pada saat yang sama justru elit politik gemar menciptakan dan mempertajam konflik antar mereka sendiri bahkan kemudian mengorbankan massanya untuk turut serta membawa konflik elit ke tingkat konflik massa. Karenanya kerja bersama - sama untuk keluar dari krisis nampak sulit terjadi. Yang kemudian nampak terjadi adalah sebuah kemarahan.
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Data empiris menunjukkan hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Komentar yang menunjukkan pentingnya hati dan mungkin lebih sedikit puitis, yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang succesful intelligence, menyatakan Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan,mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin,misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun klita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997). Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Ropbert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,informasi,koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
EQ Elit Politik Kita
Uraian tentang kecerdasan emosional diatas bisa menjadi bahan renungan kita dalam mencermati tingkah laku elit politik kita saat ini. Fenomena tingkah laku elit politik yang dijelaskan pada awal tulisan ini yakni ketidakmampuan mengelola peluang dan mengelola modal legitimasi untuk pulih dari krisis, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, sulitnya kerja sama dan meluapnya kemarahan adalah fenomena yang menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Untuk membuktikan analisis tersebut bisa dicermati uraian dibawah ini.
Setidaknya ada empat poin yang bisa menjadi alat ukur rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Alat ukur tersebut adalah Kesadaran emosi (emotional literacy), Kebugaran emosi (emotional fitness) , Kedalaman emosi (emotional dept), dan Alkimia emosi (emotional alchemy). Empat alat ukur tersebut diambil dari empat batu penjuru EQ eksekutive-nya Robert K Cooper dan Ayman Sawaf (1997).
Dalam kesadaran emosi (emotional literacy) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi. Indikasi tingkah laku tersebut antara lain adalah rasa tanggungjawab dan kejujuran. Dalam kebugaran emosi (emotional fitness) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang memiliki kebugaran emosi yang tinggi yakni dapat dipercaya, mau mendengar, mampu mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Dalam kedalaman emosi (emotional dept) ada ketulusan, kerja sama, dan dalam alkimia emosi (emotional alchemy) ada kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang masih tersembunyi.
Tingkah laku elit politik yang mengabaikan peluang dan modal legitimasi untuk pulih dari krisis bisa dikategorikan sebagai tingkah laku yang menunjukkan rendahnya rasa tanggung jawab (kesadaran emosi yang rendah). Gemar menciptakan dan mempertajam konflik menunjukkan rendahnya kebugaran emosi elit politik. Sebab kebugaran emosi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Tidak mau kerja sama yang dikarenakan tiadanya ketulusan untuk duduk berdampingan menunjukkan rendahnya kedalaman emosi elit politik kita. Tiadanya kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang ditunjukkan dengan sikap frustasi dan marah menunjukkan rendahnya alkimia emosi elit politik kita.
Berkaitan dengan marah ini barangkali kita perlu mengingat George Washington yang berhasil dalam setiap usahanya ternyata karena kemampuannya mengelola energi emosi, khususnya sifat pemarah dan mudah naik darahnya. Kemampuan mengelola energi emosi tersebut George Washington tunjukkan dengan meminta maaf kepada siapa saja yang terkena akibatnya, dan mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuatnya (Lihat Parikh,J.D.et al, Institution: The New Frontier of Management,1994). Ternyata meminta maaf dan mengambil tindakan - tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuat juga tidak nampak pada tingkah laku elit politik kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa tingkah laku elit politik kita memang menunjukkan rendahnya EQ yang dimilikinya.
Wallahua’lam
Oleh : Ubedilah Badrun
Pergolakan politik Indonesia mutakhir nampak secara jelas dipengaruhi oleh perilaku elit politik yang ada di republik ini. Agar lebih jelas untuk memahami perilaku elit politik, terlebih dulu penulis kemukakan siapa sesungguhnya yang dimaksud elit politik dalam kerangka tulisan ini ? Elit politik yang dimaksud dalam hal ini adalah elit politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Roberto Pareto yakni governing elite (elit yang memerintah). Lebih lanjut Pareto mengemukakan bahwa yang termasuk katagori elit yang memerintah antara lain adalah pimpinan suatu lembaga, organisasi, atau pimpinan institusi negara (S.P. Varma ,Modern Political Theory,1967).
Dalam konteks Indonesia, elit politik yang termasuk kategori governing elite-nya Pareto adalah Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati dan Akbar Tanjung. Perilaku merekalah yang selama ini paling dominan mempengaruhi pergolakan politik di tanah air. Jika yang terjadi sampai hari ini bangsa ini sulit keluar dari krisis yang makin multidimensional maka secara struktural dan moral kenegaraan, merekalah yang pertama harus mempertanggungjawabkannya.
Pertanyaan yang menarik dan patut dianalisis adalah mengapa krisis multidimensional itu sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda pemulihan ? Padahal pada awal terpilihnya empat elit politik sebagaimana yang disebutkan diatas, peluang dan modal untuk pulih itu nampak didepan mata. Peluang dan modal tersebut antara lain : menguatnya nilai tukar rupiah, modal legitimasi yang kuat dari rakyat, dan konsentrasi publik yang kuat untuk bersama - sama menyelesaikan masalah bangsa. Peluang dan modal untuk pulih tersebut tidak dikelola secara cerdas dan holistik oleh elit politik di republik ini. Dan pada saat yang sama justru elit politik gemar menciptakan dan mempertajam konflik antar mereka sendiri bahkan kemudian mengorbankan massanya untuk turut serta membawa konflik elit ke tingkat konflik massa. Karenanya kerja bersama - sama untuk keluar dari krisis nampak sulit terjadi. Yang kemudian nampak terjadi adalah sebuah kemarahan.
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Data empiris menunjukkan hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Komentar yang menunjukkan pentingnya hati dan mungkin lebih sedikit puitis, yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang succesful intelligence, menyatakan Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan,mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin,misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun klita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997). Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Ropbert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,informasi,koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
EQ Elit Politik Kita
Uraian tentang kecerdasan emosional diatas bisa menjadi bahan renungan kita dalam mencermati tingkah laku elit politik kita saat ini. Fenomena tingkah laku elit politik yang dijelaskan pada awal tulisan ini yakni ketidakmampuan mengelola peluang dan mengelola modal legitimasi untuk pulih dari krisis, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, sulitnya kerja sama dan meluapnya kemarahan adalah fenomena yang menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Untuk membuktikan analisis tersebut bisa dicermati uraian dibawah ini.
Setidaknya ada empat poin yang bisa menjadi alat ukur rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Alat ukur tersebut adalah Kesadaran emosi (emotional literacy), Kebugaran emosi (emotional fitness) , Kedalaman emosi (emotional dept), dan Alkimia emosi (emotional alchemy). Empat alat ukur tersebut diambil dari empat batu penjuru EQ eksekutive-nya Robert K Cooper dan Ayman Sawaf (1997).
Dalam kesadaran emosi (emotional literacy) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi. Indikasi tingkah laku tersebut antara lain adalah rasa tanggungjawab dan kejujuran. Dalam kebugaran emosi (emotional fitness) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang memiliki kebugaran emosi yang tinggi yakni dapat dipercaya, mau mendengar, mampu mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Dalam kedalaman emosi (emotional dept) ada ketulusan, kerja sama, dan dalam alkimia emosi (emotional alchemy) ada kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang masih tersembunyi.
Tingkah laku elit politik yang mengabaikan peluang dan modal legitimasi untuk pulih dari krisis bisa dikategorikan sebagai tingkah laku yang menunjukkan rendahnya rasa tanggung jawab (kesadaran emosi yang rendah). Gemar menciptakan dan mempertajam konflik menunjukkan rendahnya kebugaran emosi elit politik. Sebab kebugaran emosi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Tidak mau kerja sama yang dikarenakan tiadanya ketulusan untuk duduk berdampingan menunjukkan rendahnya kedalaman emosi elit politik kita. Tiadanya kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang ditunjukkan dengan sikap frustasi dan marah menunjukkan rendahnya alkimia emosi elit politik kita.
Berkaitan dengan marah ini barangkali kita perlu mengingat George Washington yang berhasil dalam setiap usahanya ternyata karena kemampuannya mengelola energi emosi, khususnya sifat pemarah dan mudah naik darahnya. Kemampuan mengelola energi emosi tersebut George Washington tunjukkan dengan meminta maaf kepada siapa saja yang terkena akibatnya, dan mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuatnya (Lihat Parikh,J.D.et al, Institution: The New Frontier of Management,1994). Ternyata meminta maaf dan mengambil tindakan - tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuat juga tidak nampak pada tingkah laku elit politik kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa tingkah laku elit politik kita memang menunjukkan rendahnya EQ yang dimilikinya.
Wallahua’lam
0 Comments:
Post a Comment
<< Home