Tuesday, August 07, 2007

Masalah Pasca Pilkada DKI dan Rel Demokrasi

Masalah Pasca Pilkada DKI dan Rel Demokrasi
Oleh : Ubedilah Badrun

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI tinggal hitungan hari, kampanye sudah berjalan lebih dari satu pekan dan janji-janji manis bertebaran diobral oleh para calon gubernur. Rakyat Jakarta mulai ada gairah untuk terlibat pemilu. Gairah politik juga terlihat pada kelompok yang mendukung calon perseorangan, meski dalam bentuknya yang memilih jalan golput (golongan putih).
Mahkamah Konstitusi memutuskan dibolehkannya calon perseorangan melalui Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, namun pilkada nampaknya akan terus berlangsung tanpa calon perseorangan. Kecuali jika KPUD DKI Jakarta berani memutuskan untuk menunda Pilkada atau bahkan Presiden menggunakan kewenangannya untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menterjemahkan putusan MK dan mengantisipasi darurat politik Jakarta. Pilihan lain bisa juga dengan melakukan revisi atas Undang-Undang No 32 tahun 2004 oleh DPR. Pertemuan tiga lembaga (Presiden, DPR dan KPU) bisa juga menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah pilkada ini, meski jalan ini akan panjang karena DPR bukanlah lembaga yang satu warna. Terlepas dari solusi itu, adanya putusan MK yang membolehkan calon perseorangan dan bersiteguhnya KPUD DKI untuk melaksanakan Pilkada menunjukkan bahwa Pilkada DKI diselimuti masalah hukum. Selain itu persoalan-persoalan lain kemungkinan besar akan muncul setelah Pilkada berakhir. Realitas ini penting untuk diatasi dan diantisipasi oleh masyarakat dan politisi Jakarta.

Masalah Setelah Pilkada
Realitas Pilkada DKI yang diwarnai problem hukum tersebut jika direspon masyarakat dengan menggugat KPUD DKI dan termasuk menggugat keabsahan gubernur terpilih, akan menjadi masalah yang terus menguras energi masyarakat Jakarta. Legitimasi gubernur terpilih secara pelan tapi pasti akan digerogoti justru oleh rakyatnya sendiri. Polemik ini diperkirakan akan memakan waktu yang panjang hingga sedikit banyak akan menimbulkan gejolak politik Jakarta. Hal yang penting untuk diantisipasi adalah jika gejolak politik itu kemudian berdampak pada terhambatnya roda ekonomi Jakarta.
Pada saat yang sama gubernur terpilih (siapapun yang terpilih) akan menghadapi masalah politis yang tentu akan menghambat kepemimpinannya. Untuk menjelaskan hal ini perlu dikemukakan kemungkinan masalah tersebut dengan pengandaian kedua cagub tersebut masing-masing menjadi pemenang. Jika diandaikan yang menang adalah pasangan Fauzi-Prijanto, masalah politis justru terjadi ketika alokasi-alokasi kekuasaan diperebutkan partai-partai politik pendukung Fauzi-Prijanto. Rebutan alokasi kekuasaan ini tidak akan terjadi jika deal-deal politik sudah dilakukan Fauzi justru pada saat sebelum pilkada. Persoalannya adalah tertutupnya akses informasi untuk mengetahui deal-deal politik apa yang dilakukan Fauzi dengan 20 partai politik pendukungnya? Yang diketahui publik adalah melalui slogan kampanyenya yang berbunyi ” Jakarta untuk semua”. Dalam komunikasi politik slogan ini bisa saja ditafsirkan selain menyindir pasangan Adang-Dani yang dinilainya cenderung akan mementingkan kelompok tertentu, tafsir lainya juga bisa saja diartikan sebagai bagi-bagi kekuasaan untuk semua kekuatan politik di Jakarta. Jika ini yang terjadi maka kekhawatiran akan terjadinya rebutan jatah proyek atau posisi politis tertentu pasca pilkada akan mewarnai jalannya kepemimpinan Fauzi-Prijanto.
Lalu, bagaimana jika diandaikan pasangan Adang-Dani memenangi Pilkada DKI? Dalam perspektif politik, masalah krusial juga akan dihadapi pasangan Adang-Dani. Selain keabsahannya akan terus digugat oleh kelompok pro-calon perseorangan sehingga legitimasinya akan digerogoti, apalagi jika jumlah suaranya menang tipis atas pasangan Fauzi-Prijanto. Masalah krusial politis yang mungkin akan menghadang kepemimpinan Adang-Dani adalah masalah ketidakseimbangan posisi checks and balances dengan DPRD. Kekuatan politik yang tidak berimbang antara gubernur Jakarta dengan DPRD. Adang-Dani akan menghadapi lawan politiknya di DPRD yang lebih banyak. Meski PKS (pendukung Adang-Dani) memiliki suara yang signifikan dengan 941.684 suara (23,32 % ) atau 18 anggota legislatif di DPRD DKI, tetapi jika kekuatan politik lain (pendukung Fauzi-Prijanto) di DPRD DKI bergabung maka jumlahnya akan cukup strategis dengan 3.062.012 suara (75,9 %) dan lebih dari cukup untuk menghambat kebijakan-kebijakan gubernur. Pada gilirannya proyek-proyek untuk membenahi Jakarta bisa saja hanya akan menemui jalan buntu akibat tekanan DPRD, dan pada gilirannya akan merugikan rakyat Jakarta. Persoalan ini bisa diantisipasi pasangan Adang-Dani jika sejak dini dan pasca Pilkada melakukan terobosan politik untuk memecahkan ketegangan politik dengan partai pendukung pasangan Fauzi‑Prijanto.


Janji Harus Ditepati
Hal yang sangat penting justru adalah upaya serius yang harus dilakukan gubernur terpilih untuk merealisasikan janji-janji manisnya saat kampanye. Kesan bahwa partai politik dengan konstituennya mirip peribahasa habis manis sepah dibuang harus dihilangkan. Janji manis para calon gubernur ini penulis temukan di sejumlah media massa. Pasangan Fauzi-Prijanto misalnya menjanjikan akan menggenjot pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan Jakarta. Tanpa pertumbuhan ekonomi, kota akan mati. Pemerintah bisa memberi kontribusi sebesar-besarnya, tetapi tetap ada batas maksimalnya. Khusus Jakarta, Fauzi ingin ada zona kawasan khusus yang terbuka dan ramah untuk investasi, dengan perizinan mudah dan lebih cepat dari sekarang serta lebih murah. Kawasan investasi itu menurut Fauzi dituangkan dalam gagasan membangun pelabuhan baru. Pembangunan pelabuhan bukan hanya fisik pelabuhan, tetapi juga harus dilengkapi dengan sarana prasarana lain, terutama infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Seluruh fase pembangunan, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga perawatan merupakan peluang lapangan kerja baru penyerap pengangguran. Untuk mengatasi penduduk miskin di Jakarta, Fauzi Bowo menawarkan program keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan di tingkat bawah. Pertumbuhan ekonomi didorong dengan investasi, pemerataan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat kelurahan
Sementara janji Adang juga penulis temukan di media massa bahwa untuk mewujudkan jaminan kesehatan secara menyeluruh bagi masyarakat diatasi dengan program membebaskan biaya perawatan kelas III di semua rumah sakit, meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, penyedia jasa kesehatan (provider) swasta, ketersediaan obat-obatan, dan tenaga medis. Adang juga menjanjikan pembangunan sektor pendidikan akan difokuskan pada mewujudkan jaminan pendidikan 12 tahun bagi seluruh warga dengan membebaskan biaya pendidikan sejak SD sampai SLTA, termasuk madrasah. Program lain, berfokus pada penyediaan perumahan sehat dan terjangkau untuk rakyat miskin, pengelolaan sampah, serta pengelolaan limbah dan air bersih. Penyediaan perumahan untuk rakyat miskin dilakukan dengan mendukung secara aktif program pembangunan rumah susun oleh pemerintah pusat dalam bentuk penyediaan tanah, sertifikasi tanah dan perizinan yang mudah dan murah, serta menghapus biaya ekonomi tinggi.
Sejumlah program yang diajukan oleh kedua calon gubernur tersebut meski memang masih cenderung janji manis, tetapi setidaknya memberi harapan bagi warga Jakarta akan adanya peningkatan kesejahteraan. Persoalannya kemudian adalah belum terbacanya operasionalisasi program tersebut, bagaimana program atau janji mereka dapat dilaksanakan masih belum dijelaskan secara detail. Jika rumusan program tersebut tidak direncanakan sampai tingkat operasionalisasi atau cara melaksanakannya maka kemungkinan pasca pilkada program tersebut statusnya hanya sebagai lips service belaka. Jika ini yang terjadi maka gejolak protes akan terus mewarnai kepemimpinan gubernur terpilih. Karena itu menepati janji adalah jalan terbaik bagi kuatnya kepemimpinan seorang gubernur Jakarta.

Rel Demokrasi

Putusan Mahkamah Konstitusi(MK) menyebutkan, "...adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi, yaitu dengan membuka pencalonan secara perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah". Semangat yang bisa ditangkap dari putusan MK ini adalah upaya untuk mendudukkan politik pada rel demokrasi. Dalam perspektif yang lebih khusus berkenaan dengan pilkada DKI adalah bagaimana menempatkan Jakarta sebagai percontohan demokrasi. Karena itu sudah selayaknya partai-partai politik di Jakarta memberi apresiasi atas keputusan MK ini. Semangat berdemokrasi harus menjadi poin kunci (key point), meski demokrasi secara teoritis mengandung sejumlah kelemahan.
Robert A Dahl, ilmuwan politik peraih Lippincott Award pada tahun 1989 untuk karyanya yang luar biasa A Preface to Democratic Theory (1956), melakukan kritik cukup tajam terhadap demokrasi dalam buku Democracy and Its Critics (1989). Salah satu poin penting yang bisa diambil dari kritik Dahl adalah ketika demokrasi memberi ruang kebebasan sementara pada saat yang sama juga membatasi kebebasan. Misalnya kasus batasan usia pemilih dengan dasar undang-undang politik produk lembaga demokrasi (parlemen), atau seperti kasus aktual di Indonesia misalnya sempat terhalangnya calon perseorangan secara hukum dalam pilkada DKI. Pada satu perspektif demokrasi memang nampak bermasalah karena memang sarat akan kelemahan. Bahkan beberapa paparan sejumlah studi, dari Robert Kaplan (The Coming Anarchy, 2000) hingga Noreena Hertz (Silent Takeover, 2001) cukup mempertegas betapa "buruk"-nya demokrasi.
Namun sejumlah kelemahan tentang demokrasi sesungguhnya tidak mengurangi betapa demokrasi memiliki keunggulan yang patut diapresiasi. Seperti apa yang dikemukakan pengkritik demokrasi Robert Dahl. Justru kemudian Robert Dahl dalam bukunya yang cukup baru On Democracy (1999) memaparkan keunggulan-keunggulan demokrasi dibanding alternatif mana pun yang mungkin ada. Menurut Dahl, demokrasi setidaknya memiliki keunggulan dalam sepuluh hal yakni (1) menghindari tirani; (2) menjamin hak asasi; (3) menjamin kebebasan umum; (4) menentukan nasib sendiri; (5) otonomi moral; (6) menjamin perkembangan manusia; (7) menjaga kepentingan pribadi yang utama; (8) persamaan politik; (9) menjaga perdamaian; dan (10) mendorong kemakmuran. Ya, semoga saja dengan keputusan MK yang membolehkan calon perseorangan dalam pilkada DKI justru akan menjadikan DKI sebagai percontohan Demokrasi sehingga hal buruk pasca pilkada tidak menjadi kenyataan dan sepuluh kelebihan demokrasi sebagaimana yang diungkap Robert Dahl menjadi kenyataan di Jakarta.

Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta.

<