Saturday, March 17, 2007

Apa Kabar IPTEK Indonesia? Sebuah Pesan Bagi Para Ilmuwan

Apa Kabar IPTEK Indonesia?
Sebuah Pesan Bagi Para Ilmuwan !
Oleh: Ubedilah Badrun

Ada banyak pertanyaan tentang berbagai hal yang sering diajukan disetiap awal tahun, tak terkecuali tentang perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Indonesia. "Apa kabar IPTEK Indonesia saat ini? ". Tentu saja pertanyaan ini tidak bisa hanya dijawab dengan kalimat "kabarnya baik-baik saja" dengan mimik wajah yang tenang dan tanpa merasa punya tanggungjawab moral. Apalagi jika yang menjawabnya adalah pengambil kebijakan IPTEK atau bahkan jika yang menjawabnya para kaum terpelajar yang disebut ilmuwan Indonesia.
Perkembangan IPTEK Indonesia memang masih memprihatinkan persis seprihatin gaya menjawab pertanyaan diatas. Realitas yang memprihatinkan itu bukan dilihat dari prestasi beberapa bidang IPTEK yang telah dicapai seperti temuan aplikasi teknologi DNA, temuan bibit padi unggul, temuan vector medan laju percepatan gerakan lempeng tektonik, rancang bangun pesawat remotely piloted vehicle, memperoleh penghargaan internasional Fellowship L'Oreal-Unesco for Woman in Science, mendapat medali emas pada International Exhibition of Invention New Technique and Product, memperoleh The First Step to Nobel Prize di bidang fisika tingkat SMA, hingga temuan nutrisi baru yang disebut Nutrisi Saputra, yang memang semua itu perlu disyukuri, tetapi keprihatinan itu muncul justru ketika pergerakan dampak perkembangan IPTEK itu memang tidak segaris lurus dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat dalam kerangka kebijakan IPTEK secara nasional. Disinilah titik persoalannya. Kerangka IPTEK dalam bingkai kesejahteraan masyarakat? Sebuah orientasi yang terdistorsi karena lemahnya penggerak arah kebijakan IPTEK.
Lalu apa yang sesungguhnya bisa menjadi penggerak? Bukankah sudah ada visi IPTEK tahun 2025? Ya, kita sudah punya visi IPTEK 2025 yang sangat menarik dan nampak begitu ideal sesuai dengan kehendak kita yang mencita-citakan kehidupan masyarakat yang sejahtera. "Iptek sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan peradaban bangsa" begitulah bunyi visi IPTEK kita yang dicanangkan pemerintah hasil pemilu 2004 lalu. Namun menurut pengamatan penulis visi itu sampai saat ini belum menjadi ruh bagi bergeraknya IPTEK di Indonesia, bahkan masih menjadi barang asing yang bahkan tidak sedikit yang belum mengetahui visi tersebut. Walhasil bagaiman bisa menjadi ruh bergeraknya IPTEK wong mengetahui saja tidak?
Selain itu, jika kita mau belajar dari Korea Selatan, India, Taiwan, China, Singapura, maupun Malaysia, yang mereka telah lebih awal mencanangkan visi IPTEK nya dan diikuti langsung dengan laju pergerakan ekonomi dan laju kesejahteraan masyarakatnya, maka kita bisa menemukan bahwa visi IPTEK itu akan berjalan jika pengambil kebijakan memiliki keberanian untuk mengalokasikan anggaran yang besar bagi riset IPTEK. Disisi yang lain pada saat yang sama dunia swasta mereka juga turut memberi kontribusi anggaran besar bagi riset IPTEK. Keberanian kedua aktor penting ini (pemerintah & swasta) pada akhirnya akan memberi gairah baru bagi tumbuhnya inovasi-inovasi baru dan terbentuknya masyarakat berbasis IPTEK. Realitasnya di Indonesia sampai saat ini kedau aktor tersebut masih enggan dengan alasan-alasan yang sesungguhnya klasik, problemnya sebetulnya karena tidak punya willing yang diikat oleh spirit pentingnya mencapai visi IPTEK Indonesia.
Pada sisi yang lain, persoalan masa depan IPTEK juga menghantui Indonesia, seperti yang disinyalir Marsudi Budi Utomo yang mengkhawatirkan Indonesia yang bingung memutuskan model IPTEK mana yang sesuai dengan kondisi Indonesia (beritaiptek, 2006). Berkiblat ke Barat yang sarat idiologi liberalis dan materialis atau berkiblat ke Timur (Iran, Jepang, China)? Atau memilih kiblat sendiri yang sesuai dengan kultur dan sosio-psikologis-ideologis bangsa yang agamis?
Saat ini sebagaimana dicatat oleh Menristek Kusmayanto Kadiman (http://winaryo.wordpress.com/tag/kebijakan-iptek), sebetulnya berkembang trans-disiplineritas yang menjembatani sains, ekonomi, dan politik. Trans-disiplineritas ini menjadi kunci dalam memobilisasi kapital intelektual masyarakat. Hal ini disepakati dalam sebuah konferensi internasional di Switzerland, 2000, yang dihadiri ratusan universitas, puluhan perusahaan dan perwakilan pemerintahan. Bukan saja ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu fisis yang dipertemukan dalam agora(alun-alun iptek yang baru), tetapi juga bidang-bidang humanitas (seperti sejarah, literatur, dan filsafat). Disinilah perlunya berdialog dan berbagi peran dalam simfoni orkestra IPTEK Indonesia, yang menghadirkan riset dan iptek bagi kesejahteraan, martabat, dan peradaban masyarakat hari ini dan generasi-generasi masa depan sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, termasuk nilai-nilai yang berbasis agama.
Arah dan medan persoalan kemajuan IPTEK Indonesia sebagaimana diurai diatas saya meyakini sesungguhnya sudah terbaca oleh komunitas ilmuwan Indonesia, namun kemudian hasil bacaan itu cukup disimpan saja dalam laci-laci laboratorium dan kemudian ikut arus rutinitas riset yang tak terdeteksi kemajuanya. Mandeg ! atau bergerak tetapi persis seperti bergeraknya militer dengan bunyi sepatu lars yang keras tetapi dalam formasi jalan ditempat grak!!
Ya, ketika persoalan stagnan-nya IPTEK Indonesia sudah jelas-jelas sebabnya karena rendahnya anggaran riset IPTEK dan lemahnya kepedulian swasta pada IPTEK sehingga berdampak pada lambatnya pembentukan masyarakat berbasis IPTEK, lalu para ilmuwannya diam dan duduk-duduk manja di kursi laboratorium atau bahkan lebih mengerikan lagi ketika para ilmuwannya justru sibuk dengan urusan kepentingan individualnya semata (scientist yang pragmatis) maka harapan-harapan kemajuan IPTEK Indonesia masa depan sebagaimana yang terdapat dalam Visi IPTEK 2025 hanyalah sebuah ilusi. Tetapi jika para ilmuwan Indonesia mau menyaksikan betapa indahanya kemajuan IPTEK yang dibarengi kesejahteraan rakyat maka sudah saatnya Ilmuwan Indonesia harus bergerak ! Loh kok bergerak? Bukankah selama ini sudah sibuk bergerak di laboratorium? Sudah sibuk melakukan penelitian-pnelitian? Ya, itulah apologi yang sering penulis dengar, para ilmuwan nampaknya tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya hanyalah menjalankan kebijakan minimal. Ia menjadi subordinat dari kebijakan minimal itu dan terjebak dalam rutinitas. Jika guru-guru pernah bergerak menuntut naiknya anggaran pendidikan, jika para buruh bergerak menuntut hak kesejahteraaan naiknya upah minimum regional, penulis tidak pernah mendengar Ilmuwan Indonesia bergerak menuntut naiknya anggaran riset ilmu pengetahuan dan teknologi. Wahai para ilmuwan bergeraklah!
Ubedilah Badrun, analis gerakan sosial politik di Indonesia.

<