Thursday, March 23, 2006

Membicarakan Soal Negosiasi

Membicarakan Soal Negosiasi
Oleh : Ubedilah Badrun

Dalam tulisan yang bisa dijadikan rujukan bagi para peminat negosiasi ini sedikitnya membahas empat hal : (1) persiapan melakukan negosiasi, (2) tujuan negosiasi, (3) strategi negosiasi, dan (4) bagaimana mempertahankan hasil negosiasi. Sekalipun tidak terlihat spesifikasinya (apakah negosiasi bisnis, politik, organisasi atau negosiasi aksi ? ). Penulis akan coba mengulasnya dalam berbagai perspektif yang memfokus pada negosiasi pada umumnya. Sebab nampaknya negosiasi hampir selalu akan dihadapi oleh setiap manusia, apalagi bagi mahasiswa yang aktif di organisasi. Negosiasi sesungguhnya merupakan unsur yang penting dalam menentukan tingkat suksesnya aplikasi program bagi sebuah organisasi, baik organisasi mahasiswa maupun organisasi Negara.
Secara populer negosiasi bisa diartikan sebagai proses tawar menawar atau bargaining Process untuk mensukseskan sebuah gagasan, tujuan, program, atau proyek yang diinginkan oleh pelaku negosiasi. Dalam negosiasi sedikitnya terdapat tiga hal, yakni mereka yang disebut negosiator (orang yang melakukan negosiasi ), media negosiasi (surat, telephone, tempat, dsb.), dan materi negosiasi. Nah, pada tingkat materi negosiasi inilah tujuan negosiasi terlihat. Kalau materi negosiasinya tentang sponsorship kegiatan pekan ilmiah mahasiswa maka tujuannya akan tidak jauh dari sejauhmana sponsorship tersebut berhasil diperoleh dari perusahaan yang dinegosiasi. Kalau materi negosiasi tersebut terjadi pada saat demonstrasi maka tujuannya jelas agar negosiasi itu menghasilkan tuntutan demonstrasi, atau setidaknya demonstrasi berjalan sukses. Pengertian populer tersebut setidaknya memberikan gambaran singkat tentang apa yang dimaksud dengan negosiasi. Dari pengertian tersebut secara substansial negosiasi hampir sama pengertiannya dengan bargaining process.
Dalam bargaining Process ada satu hal yang sulit dilepaskan didalamnya, yakni menyangkut Human Relationship atau hubungan antar manusia. Dalam konteks hubungan antar manusia inilah dalam negosiasi sesungguhnya membutuhkan semacam Relationship Intellegence atau kecerdasan hubungan. Edwin A.Hoover & Collette Lombard Hoover dalam bukunya Getting Along in Family Business The Relationship Intellegence Handbook (1995) mengemukakan bahwa kecerdasan hubungan sangat menentukan kemajuan sebuah organisasi (sekalipun Edwin & Colette memfokuskan pada organisasi bisnis). Pertanyaannya kemudian adalah “ apa yang dimaksud Relationship Intellegence ?” Lebih lanjut Edwin & Colette mengemukakan bahwa kecerdasan hubungan meniscayakan dua hal penting, yakni memiliki (1) paradigma hubungan dan (2) keterampilan hubungan. Paradigma hubungan yang dimaksud adalah bahwa dalam hubungan antara manusia termasuk dalam negosiasi meniscayakan adanya semangat, moralitas, dan budaya. Sementara keterampilan hubungan menyangkut keterampilan komunikasi yang meliputi keterampilan mendengarkan secara aktif, menghargai sesama negosiator, dan keterampilan memanaj gagasan.

Pada tingkat memanaj gagasan ini Jose Silva & Ed Bernd.Jr. dalam bukunya Sales Power The Silva Mind Method (1992) mengemukakan bahwa pikiran yang sehat akan menentukan bagaimana gagasan bisa dimanaj. Karenanya Positive Thinking sangat diperlukan bagi tumbuhnya keterampilan memanaj gagasan. Keterampilan memanaj gagasan ini sangat diperlukan dalam sebuah negosiasi.
Hal lain yang perlu menjadi catatan bahwa untuk menjalankan negosiasi yang baik diperlukan persiapan yang matang. Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan dalam menjalankan negosiasi yang berhasil. Persiapan tersebut antara lain ; (1)menguasai materi negosiasi, (2) mengetahui tujuan negosiasi, (3) menguasai keterampilan –keterampilan tehnis negosiasi yang didalamnya menyangkut keterampilan komunikasi.
Menguasai materi negosiasi berarti sang negosiator harus mengetahui materi apa yang akan dibicarakan dalam negosiasi. Misalnya materi tentang perlunya menaikkan gaji guru, maka sang negosiator setidaknya mengetahui perkembangan gaji guru dari tahun ketahun, mengetahui perbandingan gaji guru di Indonesia dengan di negara tetangga, mengetahui kebijakan pemerintah tentang guru, dsb. Tentu penguasaan materi yang actual sangat mendukung keberhasilan proses negosiasi. Mengetahui tujuan negosiasi berarti sang negosiator harus tahu sesungguhnya tujuan yang ingin dicapai dari negosiasi. Misalnya negosiasi tersebut bertujuan untuk memperoleh dukungan gerakan yang dilakukan mahasiswa . Maka dalam proses negosiasi sang negosiator harus selalu ingat bahwa negosiasi yang dilakukannya harus mengarahkan bagi diperolehnya dukungan gerakan. Menguasai keterampilan – keterampilan tehnis negosiasi berarti bahwa sang negosiator setidaknya antara lain memiliki kemampuan komunikasi yang baik atau retorika yang baik.
Dalam proses negosiasi juga memerlukan strategi negosiasi agar negosiasi berjalan sukses. Setidaknya ada tiga strategi penting dalam negosiasi, yakni (1) untuk menarik empaty sesama negosiator, seorang negosiator harus memiliki sikap saling menghargai. Jangan meremehkan antar sesama negosiator. Demikian pesan moral dari David Schward dalam bukunya The Magic Of Thinking Success (1995). Jika sikap saling menghargai antar negosiator terbangun maka separuh dari target negosiasi sudah tercapai. (2) untuk mensukseskan tujuan negosiasi sang negosiator harus pandai membuat komitmen untuk mengikat sasaran negosiasi. (3) untuk bisa membuat komitmen diperlukan kemampuan argumentasi (rasionalitas) yang baik.
Lalu, ada pertanyaan yang juga perlu dijawab, “ setelah tujuan negosiasi tercapai, bagaimana caranya mempertahankan hasil negosiasi tersebut ?”. Edwin & Collete menyarankan tiga hal untuk memelihara hasil negosiasi, yakni menjaga komunikasi (saling menukar informasi), menjaga komitmen bersama, dan menjalankan komitmen yang telah disepakati. Dalam bahasa lain menjaga kepercayaan (amanah). Tentang kepercayaan ini sangat penting dalam proses berorganisasi, apalagi kalau berorganisasi dipahami sebagai media perjuangan. Menjaga kepercayaan inilah yang dicontohkan Muhammad (SAW) hampir lima belas abad yang lalu, yang menjadikannya pemimpin besar dunia.
Sejumlah pemahaman tentang negosiasi sebagaimana diuraikan diatas setidaknya memberikan gambaran bahwa memang keterampilan negosiasi sangat diperlukan dalam menjalankan organisasi untuk mencapai tujuannya. Bahkan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan lewat demonstrasi ( sebagaimana yang sering dilakukan mahasiswa )-pun diperlukan keterampilan negosiasi. Misalnya dalam aksi-aksi demonstrasi seringkali mahasiswa dihadapkan pada upaya penyumbatan aspirasi yang dilakukan aparat lewat blokade-blokadenya. Pada saat seperti itu sangat diperlukan keterampilan negosiasi yang baik. Sehingga aspirasi dari perjuangan lewat demonstrasi tersebut tidak sia-sia diperjuangkan. Dalam konteks ini sang negosiator tidak hanya harus memiliki kemampuan untuk menghargai sasaran negosiasi dan kemampuan rasionalitas yang baik tetapi juga diperlukan keberanian untuk menyatakan sesuatu yang benar. Keberanian inilah yang seringkali menentukan sebuah negosiasi aksi akan berjalan sukses.
Demikian makalah singkat ini penulis buat semoga bermanfaat untuk para peminat dan pelaku negosiator.

Titik Balik Kegagalan ?

Titik Balik Kegagalan ?
Oleh : Ubedilah Badrun

Ada banyak pertanyaan yang sekarang ini muncul ke permukaan berkenaan dengan nasib bangsa ini. Pertanyaan tersebut antara lain“ Mengapa krisis di Indonesia sampai saat ini belum bisa dipulihkan ?” “ Benarkah bangsa ini sudah berada pada titik kebuntuan !?” “Akankah titik balik kegagalan yang akan mengisi lembar perpolitikan Indonesia kedepan ?” Pertanyaan – pertanyaan tersebut menggugah penulis untuk urun rembuk mencermati persoalan bangsa yang carut-marut ini.
Sebelum lebih jauh mencermati kondisi bangsa yang carut-marut saat ini, ada baiknya kita mengingat kembali saat-saat menjelang kejatuhan rezim otoriter orde baru Pada saat itu terlihat dengan jelas betapa rakyat Indonesia begitu antusias mendukung gerakan reformasi dan penuh harap agar otoriterisme, ketidakadilan dan korupsi segera berakhir. Antusiasitas rakyat tidak sia-sia, Soeharto sebagai simbol rezim otoriter akhirnya jatuh pada 21 Mei 1998. Kejatuhan itu mampu membangun optimisme rakyat untuk memperbaiki bangsa agar bebas dari belenggu otoriterisme, ketidakadilan dan bebas dari korup. Kepercayaan publik internasional juga mulai pulih. Tetapi sayang, optimisme dan kepercayaan (yang sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memperbaiki bangsa) tidak dimanfaatkan dengan baik tetapi malah dirusak oleh rezim-rezim baru, baik oleh rezim eksekutif maupun rezim legislatif.
Dirusak Rezim – Rezim Baru
Untuk mencermati bagaimana rezim – rezim baru (eksekutif & legislative / Presiden & DPR-MPR ) tidak mampu memanfaatkan peluang dengan baik ada baiknya satu persatu rezim baru tersebut dianalisis (dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai ketua DPR-MPR dan anggotanya ). Hal ini dilakukan agar bangsa ini bisa mengambil pelajaran dari kebodohannya.
Naiknya Habibie menjadi presiden penuh dengan kontraversi, baik kontraversi konstitusional (sah tidaknya Habibie menurut konstitusi) maupun kontraversi tentang kedekatan Habibie dengan Soeharto. Sekalipun Habibie bersikeras menampilkan pemerintahan yang demokratis tetapi factor kedekatanya dengan Soeharto menjadikan pemerintahannya berjalan tidak efektif sehingga menghambat kelanggengan kekuasaanya. Demonstrasi penolakan terhadap rezim Habibie berlangsung cukup lama, bahkan sempat memakan korban jiwa rakyat dan mahasiswa (tragedi Semanggi). Rezim Habibie juga setengah-setengah menegakkan supremasi hukum dalam menangani kasus-kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme ( pengadilan atas mantan presiden Soeharto, Tommy, dsb.) Bahkan membuat masalah baru dengan adanya kasus Bank Bali. Dan, pada saat yang sama rezim Habibie membuat kebijakan yang paling sensitive yakni memberikan kebebasan pada rakyat Timor- Timur untuk menentukan nasibnya sendiri melalui jejak pendapat yang berakhir dengan lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah kebijakan yang menyakitkan kelompok nasionalis yang berada di parlemen (DPR/MPR) hasil pemilu yang dilaksanakan rezim Habibie sendiri. Ketidaktegasan rezim Habibie dan kebijakan yang sensitive memperparah sekaligus memperlambat proses penyelesaian agenda reformasi. Perseteruan politik dan konflik sosial juga mewarnai pemerintahan Habibie (konflik di Ambon, dsb.). Habibie akhirnya jatuh setelah laporan pertanggungjawabannya di tolak MPR. Waktu satu tahun lima bulan tidak dimanfaatkan dengan baik oleh rezim Habibie.
Naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden mampu membangun kepercayaan rakyat dan dunia internasional. Hal ini bisa dicermati misalnya dari naiknya nilai mata uang rupiah mencapai Rp.6.700 per dollar. Ini merupakan kesempatan emas untuk menggairahkan ekonomi nasional. Walaupun sebetulnya naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden juga mengandung kontraversi demokrasi dan menjadi embrio bagi konflik-konflik politik selanjutnya. Betapa tidak ? Abdurrahman Wahid yang basis partainya (PKB) dalam pemilu 1999 hanya mencapai 11 persen, jauh di bawah PDIP, bisa menjadi presiden. Terlepas dari kontraversi dan embrio konflik politik tersebut, Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih menjadi presiden melalui mekanisme “demokrasi formal” di MPR oktober 1999 dan segera membentuk kabinet pemerintahannya.
Pemerintahan baru terbentuk dan pada mulanya pasar memang menaruh kepercayaan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, tetapi setelah kesalahan demi kesalahan dilakukan, mulai dari pembentukan kabinet yang tidak professional, soal pergantian menteri yang kontraversial, sampai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkaran dekat presiden Abdurrahman Wahid dan berbagai isu negatif lainnya yang memicu konflik antar elit politik, pasar mulai berreaksi negatif hingga rupiah melemah sampai Rp.9.000 per dollar (dari Rp.6.700 per dollar saat pertama Abdurrahman Wahid naik jadi presiden). Peluang emas pemulihan ekonomi nasional tidak dimanfaatkan dengan baik oleh rezim Abdurrahman Wahid, tetapi sibuk membuat kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang kontraversial hingga membelenggu kelanggengan kekuasaanya sendiri. Maklumat(“dekrit”) presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 adalah kebijakan yang inkonstitusional menurut MPR. Andaipun maklumat itu konstitusional, kebijakan tersebut sangat terlambat. Mengapa tidak sejak awal ketika baru terpilih sebagai presiden mengeluarkan maklumat tersebut. Rezim Abdurrahman Wahid akhirnya jatuh dari kekuasaanya pada 23 Juli 2001 melalui sidang MPR, hanya beberapa jam setelah maklumat tersebut di keluarkan..
Megawati terpilih sebagai presiden RI ke V menggantikan Abdurrahman Wahid. Dukungan rakyat dan dunia internasional kembali terlihat. Tetapi, sekali lagi peluang emas tersebut sampai saat ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Rezim Megawati nampak terlihat tidak secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan dan perubahan-perubahan besar. Bahkan beberapa kebijakannya bermasalah (kasus PKPS, walaupun akhirnya diralat, menaikan harga BBM, dan masalah asramagate yang bisa saja akan mengakhiri kekuasaannya). Selain itu kasus Akbar Tanjung (Buloggate II) yang ditangguhkan penahannya, semakin menunjukkan bahwa rezim Megawati memang setengah-setengah dan tidak bisa diharapkan untuk melakukan perbaikan dan perubahan mendasar di Republik ini. Megawati nampaknya tidak populis lagi untuk kembali menjadi presiden pada 2004 dan waktu yang tersisa hingga 2004 hanya akan di isi dengan kesibukan untuk kepentingan partai politiknya. Jadi, peluang perbaikan dan perubahan mendasar kembali tidak dimanfaatkan dengan baik.
Selain rezim eksekutif (presiden dan kabinetnya) yang memang tidak pandai memanfaatkan peluang emas untuk melakukan perbaikan dan perubahan mendasar, rezim legislative ( DPR&MPR) juga menunjukkan ketidakpandainnya memanfaatkan peluang emas perbaikan dan perubahan mendasar tersebut. Beberapa ketidakpandaian rezim legislative tersebut antara lain terlihat dari ketidakpandaian ketua dan anggota rezim legislative untuk bersikap dan menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas kongruen dengan substansi agenda reformasi total. Sebut saja misalnya hasil sidang umum MPR yang akhirnya memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden, padahal Abdurrahman Wahid basis partainya hanya mencapai 11 persen pada pemilu 7 juni 1999 (kesediaan Abdurrahman Wahid menjadi presiden juga ketidakpandaian tersendiri ?). Bukankah ini hasil sidang yang justru membentuk embrio konflik politik. Embrio ini semakin terlihat beberapa bulan setelah rezim Abdurrahman Wahid berjalan. Poros tengah yang digalang Amin Rais adalah aktor ketidakpandaian itu yang menciptakan embrio konflik politik.
Contoh lain ketidakpandaian rezim legislative adalah ketidakberhasilannya membuat undang-undang. Tidak ada undang-undang yang dihasilkan DPR merujuk pada substansi reformasi total, bahkan puluhan rancangan undang-undang dibiarkan begitu saja dan lebih sibuk dengan konflik-konflik politik yang dibangunnya sendiri. Amandemen UUD 1945 yang lebih substansial, kini juga terkatung-katung. Nampaknya akan ada kebuntuan konstitusi. Ide perlunya Mahkamah konstitusi masih belum terformulasi. Peluang emas perbaikan dan perubahan mendasar yang seharusnya bisa dilakukan rezim legislative tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan kini DPR mengalami krisis moral yang sangat memalukan. Betapa tidak memalukan ? Ketua DPR-nya terpidana dan anggotanya terbiasa dan senang menerima suap (kasus komisis Anggaran DPR).Bukankah ini sebuah ketololan ?
Sebuah Titik Balik
Jika ditelusuri lebih cermat saat awal kejatuhan rezim otoriter orde baru sebetulnya terlihat betapa bodohnya elit politik baru republik ini, yakni elit politik baru tidak membuat garis tegas terhadap rezim sebelumnya. Sehingga apa yang diinginkannya tentang perubahan mendasar berjalan secara setengah-setengah. Dan kini, baik rezim eksekutif maupun rezim legislative terlalu banyak membuat kegagalan demi kegagalan. S Sebuah titik balik kegagalan mungkin akan terjadi. Titik balik itu ada dua kemungkinan, bisa revolusi damai atau revolusi yang rusak-rusakan. Jangan salahkan rakyat kalau justru revolusi yang rusak-rusakan itu yang akan terjadi, sebab rakyat sudah muak dengan tingkah laku rezim yang justru memperpanjang penderitaan rakyat. Muak dengan tingkah laku rezim yang doyan korupsi dan kolusi. Apalagi kini Pemerintah Indonesia dihadapkan pada isu terorisme yang mengarah kepada ketidakberdayaan negara di ’obok – obok’ AS.
Persoalannya memang ada pada ketidakberanian rezim untuk membuat “GARIS TEGAS” atau “GARIS PEMBEDA” antara yang salah dan yang benar, antara yang korup dan tidak korup, antara rezim orba dan rezim reformasi total, antara nasionalisme dan neokolonialisme. Jika garis tegas atau garis pembeda itu dimiliki rezim maka langkah -langkah implementasi jalannya negara akan berjalan sesuai agenda reformasi total sebagaimana juga cita – cita The founding Fathers and Mothers bangsa ini . Nah…sebelum revolusi rusak-rusakan itu terjadi, segeralah membuat garis tegas itu !!!.

Saturday, March 04, 2006

EQ Elit Politik Kita Rendah

Ini tulisan tahun 2001, sengaja dimuat lagi siapa tau bermanfaat.

EQ Elit Politik Kita Rendah
Oleh : Ubedilah Badrun

Pergolakan politik Indonesia mutakhir nampak secara jelas dipengaruhi oleh perilaku elit politik yang ada di republik ini. Agar lebih jelas untuk memahami perilaku elit politik, terlebih dulu penulis kemukakan siapa sesungguhnya yang dimaksud elit politik dalam kerangka tulisan ini ? Elit politik yang dimaksud dalam hal ini adalah elit politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Roberto Pareto yakni governing elite (elit yang memerintah). Lebih lanjut Pareto mengemukakan bahwa yang termasuk katagori elit yang memerintah antara lain adalah pimpinan suatu lembaga, organisasi, atau pimpinan institusi negara (S.P. Varma ,Modern Political Theory,1967).
Dalam konteks Indonesia, elit politik yang termasuk kategori governing elite-nya Pareto adalah Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati dan Akbar Tanjung. Perilaku merekalah yang selama ini paling dominan mempengaruhi pergolakan politik di tanah air. Jika yang terjadi sampai hari ini bangsa ini sulit keluar dari krisis yang makin multidimensional maka secara struktural dan moral kenegaraan, merekalah yang pertama harus mempertanggungjawabkannya.
Pertanyaan yang menarik dan patut dianalisis adalah mengapa krisis multidimensional itu sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda pemulihan ? Padahal pada awal terpilihnya empat elit politik sebagaimana yang disebutkan diatas, peluang dan modal untuk pulih itu nampak didepan mata. Peluang dan modal tersebut antara lain : menguatnya nilai tukar rupiah, modal legitimasi yang kuat dari rakyat, dan konsentrasi publik yang kuat untuk bersama - sama menyelesaikan masalah bangsa. Peluang dan modal untuk pulih tersebut tidak dikelola secara cerdas dan holistik oleh elit politik di republik ini. Dan pada saat yang sama justru elit politik gemar menciptakan dan mempertajam konflik antar mereka sendiri bahkan kemudian mengorbankan massanya untuk turut serta membawa konflik elit ke tingkat konflik massa. Karenanya kerja bersama - sama untuk keluar dari krisis nampak sulit terjadi. Yang kemudian nampak terjadi adalah sebuah kemarahan.
Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Data empiris menunjukkan hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Komentar yang menunjukkan pentingnya hati dan mungkin lebih sedikit puitis, yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang succesful intelligence, menyatakan Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).

Signifikan dengan uraian diatas Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mengemukakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) bukanlah muncul dari pemikiran intelek, tetapi dari pekerjaan hati manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan,mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai menerapkan gerakan, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam,mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin,misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Robert K Cooper and Ayman Sawaf , Executive EQ: Emotional Intelligence in Leadership and Organizations,1997). Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional kita, emosi bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan kita sumber kebijakan intuitif. Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah -- dari hati,bukan kepala-- yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun klita ke kemungkinan yang tak terduga, dan bahkan bisa menyelamatkan diri kita atau komunitas kita dari kehancuran.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997). Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-- pada diri kita dan orang lain --dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Uraian tersebut mendorong Ropbert K Cooper dan Ayman Sawaf membuat definisi lengkap tentang kecerdasan emosional. Definisi lengkapnya sebagai berikut : Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami , dan secara efektif dan kreatif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,informasi,koneksi dan pengaruh yang manusiawi.(Robert K Cooper & Ayman Sawaf,1997).
EQ Elit Politik Kita
Uraian tentang kecerdasan emosional diatas bisa menjadi bahan renungan kita dalam mencermati tingkah laku elit politik kita saat ini. Fenomena tingkah laku elit politik yang dijelaskan pada awal tulisan ini yakni ketidakmampuan mengelola peluang dan mengelola modal legitimasi untuk pulih dari krisis, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, sulitnya kerja sama dan meluapnya kemarahan adalah fenomena yang menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Untuk membuktikan analisis tersebut bisa dicermati uraian dibawah ini.
Setidaknya ada empat poin yang bisa menjadi alat ukur rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Alat ukur tersebut adalah Kesadaran emosi (emotional literacy), Kebugaran emosi (emotional fitness) , Kedalaman emosi (emotional dept), dan Alkimia emosi (emotional alchemy). Empat alat ukur tersebut diambil dari empat batu penjuru EQ eksekutive-nya Robert K Cooper dan Ayman Sawaf (1997).
Dalam kesadaran emosi (emotional literacy) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi. Indikasi tingkah laku tersebut antara lain adalah rasa tanggungjawab dan kejujuran. Dalam kebugaran emosi (emotional fitness) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang memiliki kebugaran emosi yang tinggi yakni dapat dipercaya, mau mendengar, mampu mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Dalam kedalaman emosi (emotional dept) ada ketulusan, kerja sama, dan dalam alkimia emosi (emotional alchemy) ada kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang masih tersembunyi.
Tingkah laku elit politik yang mengabaikan peluang dan modal legitimasi untuk pulih dari krisis bisa dikategorikan sebagai tingkah laku yang menunjukkan rendahnya rasa tanggung jawab (kesadaran emosi yang rendah). Gemar menciptakan dan mempertajam konflik menunjukkan rendahnya kebugaran emosi elit politik. Sebab kebugaran emosi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Tidak mau kerja sama yang dikarenakan tiadanya ketulusan untuk duduk berdampingan menunjukkan rendahnya kedalaman emosi elit politik kita. Tiadanya kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang ditunjukkan dengan sikap frustasi dan marah menunjukkan rendahnya alkimia emosi elit politik kita.
Berkaitan dengan marah ini barangkali kita perlu mengingat George Washington yang berhasil dalam setiap usahanya ternyata karena kemampuannya mengelola energi emosi, khususnya sifat pemarah dan mudah naik darahnya. Kemampuan mengelola energi emosi tersebut George Washington tunjukkan dengan meminta maaf kepada siapa saja yang terkena akibatnya, dan mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuatnya (Lihat Parikh,J.D.et al, Institution: The New Frontier of Management,1994). Ternyata meminta maaf dan mengambil tindakan - tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuat juga tidak nampak pada tingkah laku elit politik kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa tingkah laku elit politik kita memang menunjukkan rendahnya EQ yang dimilikinya.

Wallahua’lam

<